Tak dapat dimungkiri, Â bagi individu yang masih awam pengetahuan agama, puasa tidak semata mengharap ridho dari Allah. Namun lebih kental nuansa tradisi yang bersifat duniawi. Misalnya, begitu masuk bulan puasa, mulai sibuk memikirkan pernak-pernik lebaran. Baju baru, macam-macam kueh, motor baru , sampai ke masakan enak buat disantap pada hari raya. Hal begini biasanya melanda sebagian masyarakat pedesaan.
Efeknya, para suami harus siap menghadapi tuntutan. Kalau tidak, bisa-bisa dipecat sebagai kepala rumah tangga. Ramadhan semakin keujung, duit tidak punya. Pakaian anak belum dibeli. Sementara suami cuek-cuek bebek. Tak ada tanda-tanda untuk berusaha. Banyak tidur daripada bekerja. Padahal namanya saja bulan puasa, bulannya puasa orangnya  tetap berbuka.Â
Alasan kemalasannya pun suka mengada-ngada. Berjualan, sepi pembeli. Memburuh gaji tak memadai, tidak cocok sama mandor. Dan argumen lainnya membuat isterinya emosi berat.
Tetangga sebelah terlihat enjoy, rumah sudah dicat, motor, kursi, lemari, semua serba baru. Tak bisa dibayangkan jika si tetangga  tipe makhluk suka pamer. Bisa mati mendadak itu isteri.
Zaman dahulu, ada suatu kebiasaan jelek  di suatu negeri. Saya sebutkan itu kampung  XX. Gara-gara  suami tak sanggup memenuhi hasrat isteri, setiap bulan puasa banyak krisis yang  menimpa rumah tangga. Khususnya keluarga pasangan muda. Buntutnya pun, beranaka ragam. Mulai dari suami mengungsi ke rumah orangtuanya, merembet ke kasus perceraian. Sampai-sampai ada yang bilang, lebaran itu identik dengan perceraian.
Masalahnya bukan sampai di situ. Pasca perceraian muncul problem baru. Katakanlah, tersiar kabar mantan suami akan mencari pengganti. Tragedi ke dua menyusul. Perempuannya dibakar cemburu, saling serang pun tak bisa dihindari. Tidak jarang  juga mantan isteri beralih profesi, menjadi pelakor perusak rumah tangga orang. Maklum, keduanya berusia antara 16-19 tahunan.
Di antara sekian banyak dampak kasus perceraian di bulan puasa, hanya satu yang masih terekam di benak saya. Peristiwa ini pas menimpa tetangga saya.
Waktu bercerai, suaminya keluar tidak membawa apa-apa selain kain baju miliknya. Habis, yang mau diambil juga tidak ada. Duit tak punya, emas permata apa lagi. Tinggal masih numpang di rumah mertua. Â Kekayaan mereka hanya sepetak kecil kebun kopi yang baru mulai berbuah.
Beberapa hari setelah perceraian, di halaman depan rumah mantan terhampar buah kopi yang sedang dijemur.  Dengan mengenakkan sarung dan kaus, tiba-tiba si mantan suami  mampir. Tanpa basa-basi, dia langsung mengumpulkan buah kopi tersebut dan memasukkannya ke da dalam karung. Mungkin karena merasa ikut memiliki, dia mau mengambil jatah. Kopinya tidak banyak, paling tiga puluh kilogram.
Melihat aksi tersebut, buru-buru mantan isterinya keluar dan merampas kopi yang sudah dikarungi itu dari tangan pelaku. Terjadi tarik menarik sambil mengericau dan marah-marah, hingga sarung sang mantan melorot sampai ke tanah. Masyaallah. Lelaki yang baru menduda tersebut telanjang. Rupanya dia tidak pakai celana dalam. Akhirnya dia malu sendiri, terus pergi dengan tangan hampa.
Kejadian tersebut menjadi tontonan di siang bolong. Kami para tetangga tak bisa berbuat banyak. Tak seorang pun yang berani mendekat. Edegan gratis itu berakhir tanpa campur tangan sutradara.
Kisah ini terjadi hampir setengah abad yang lalu. Sekarang, kondisi kampung XX telah berubah. Pernikahan dan perceraian jauh  lebih tertertib.
***
Simpang Empat Danau Kerinci, 22052015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H