Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Selamat Tinggal Zaman Kaki, Katakan Tidak pada Penyakit "P"

6 Mei 2018   16:15 Diperbarui: 6 Mei 2018   16:29 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orang desa yang mengawali kehidupan dari era pasca kemerdekan, saya wajib mensyukuri bahwa jutaan bahkan miliaran nikmat telah saya peroleh dari Alam Indonesia Raya ini. Masih tergambar dalam ingatan saya, pada zaman 'serba kaki' dulu. Kemana-mana jalan kaki nyeker pula. 

Ke kebun jalan kaki, ke sawah jalan kaki, mengolah lahan setelah dibajak dinjak-injak dengan kaki, merontok hasil panen padi pakai kaki, ke pasar jalan kaki, ke sekolah pulang pergi delapan kolimeter jalan kaki. Bahkan mengabarkan kematian kepada sanak keluarga yang berdomisili dua puluh lima kilometer pun berjalan kaki.

Itu baru zaman serba kaki. Bagaimana pula yang 'serba ung.'Ke kebun mendaki gunung, Makan nasi bercampur jagung bercolek cabe lalap terung, nulis pakai pensil buntung, sudut buku bergulung-gulung, nakal di sekolah diancam hukuman kurung (di wc), tidak ahli pelajaran berhitung langkah naik kelas harus dibendung.

Belum lagi yang 'serbai it.' Berobat ke rumah sakit biayanya mahal selangit, memanggil tenaga medis amatlah sulit sesulit menyembah raja bertahta di langit, apa lagi si pasien tak punya duit, meskipun ada tapi sedikit. Aow.... Lengkaplah sudah penderitaan rakyatmu... Wahai Bangsa dan Negaraku.

Itu belum seujung jarum. Lalu bagaimana rakyat menyikapinya...? Alhamdulillah. Pilsafat para ahli memang benar. "Penderitaan itu salah satu sarana untuk mendidik orang menjadi tangguh, tidak rapuh, dan tidak cengeng." Masih terpatri di benak saya, ketika kemarau panjang melanda negeri, sawah dan ladang jadi kerontang, tanaman-tanaman mati kering, ternak terkapar bergelimpangan, kelaparan terjadi di mana-mana. Namun, rakyat menghadapinya dengan sabar walaupun secara individualis. Mereka tak pernah meratapi keadaan, mengemis dan menangis, mengharap uluran tangan dari  pihak mana pun, apa lagi memaki-maki.

Bandingkan dengan situasi dua dasawarsa terakhir ...! Kemana-mana minimal naik motor, gedung sekolah bercokol di sana-sini, melayani pendidikan gratis minimal sembilan tahun. Saat ini, bea siswa pun berjibun, mulai untuk pendidikan tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi, bahkan berseleweran sampai ke luar negeri.

 Di sekolah, para siswa merasa dibuai, berpayung Undang-Undang No. 23 Tahun 2002. Sedikit saja guru menyakitinya, jika didukung dengan bukti dan saksi, sang guru bisa dipenjara. Tak mampu naik kelas, dinaikkelaskan asal mau pindah ke sekolah lain. Waduh...! Benar-benar cengeng itu putera-puteri Bunda Pertiwi.

Demikian pula kesediaan pangan terstok cukup, asal ada uang ada barang. Sarana kesehatan, rumah sakit, Pos Yandu, dan pos-pos lainnya, (belum termasuk pos giro, pos polisi, dan pos ronda, haha...) semuanya mudah dijangkau. Tenaga medis siap siaga melayani masyarakat dengan ramah. Meskipun ada yang arogan dan kasar, barangkali dia lagi stress belum merokok, belum ngopi. Atau ditinggal kabur oleh pacar, suami, atau isteri.

Apabila bencana alam datang melanda, pemerintah segera turun tangan, mengantarkan apa saja yang dibutuhkan. Politikus berbondong-bondong menunjukkan keprihatinan, menyumbangkan pakaian serta pangan. Pengusaha hadir membawa mi instan. Artis menyuguhkan berbagai hiburan.

Maaf, jujur saya katakan. Tulisan ini mengliar dari lubuk hati saya paling dalam, Bukan memuji keberhasilan pemerintah, karena apa yang telah dicapai bangsa ini bukan semata-mata usaha pemerintah, melainkan dimulai dari rakyatnya sendiri. Walaupun harus diakui masih banyak kekurangan dan kelemahan yang belum sepenuhnya sesuai dengan selera dan cita-cita seluruh bangsa ini dari Sabang sampai Meraoke. Untuk mengoreknya bukan kapasitas saya, karena saya sendiri makhluk lemah, dan amat jauh dari sempurna.

Saya heran, di era digital yang serba canggih saat ini, masih banyak orang yang berkeluh kesah, mau masak tak ada beras, belanja tak punya uang, menyekolahkan anak tiada biaya. Sementara dia membiarkan jiwa raganya digelayuti sederet menyakit huruf P, (Penidur, Pemalas, Penghayal, Pencandu, Pencaci, Pemaki, Pencemburu melihat kemajuan orang lain, Penghitung kantong dan keberhasilan pekerja keras , dan banyak lagi penyakit P lainya).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun