Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Siswa Nakal, Aset Berharga bagi Kebahagiaan Guru

2 Mei 2018   19:43 Diperbarui: 3 Mei 2018   04:35 3370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Majlis Guru SD No. 124/III berpose di halaman depan sekolah pada tahun 1979. (dokumen pribadi)

Akhir Mei tahun 1977. Pertama saya menginjakkan kaki di Dusun (baca: desa) C, kecamatan Danau Kerinci Kabupaten Kerinci. Kurang lebih tiga kilo meter dari bibir sebelah utara Danau Kerinci. Karena posisinya di pinggir sawah, lingkungannya tak jauh dari aroma bebek, padi, dan jerami.

Di sana saya numpang nginap di sebuah rumah berlantai semen. Dindingnya papan yang sudah menghitam dimakan usia. Pemiliknya, asli keturunan penduduk setempat, pedagang emas sukses di luar daerah. Saking gedenya, apabila kita berbicara di dalamnya, pantulan suara menggaung seperti sedang berada di dalam masjid. Dapurnya dua kali ukuran rumah orangtua saya.

"Semasa kecil, kami belajar sepeda dan main bola di sini," aku salah satu anak lelaki sambil menunjuk ke ruang tamu. Siswa kelas V SD tersebut putra tetangga sebelah yang ikut menyambut kehadiran saya saat itu.

Kamarnya ada tiga. Masing-masing dihuni oleh satu keluarga, ahli waris yang berhak. Saya di kamar depan, bergabung bersama seorang janda tua dengan satu anak, dua cucu.

Habis, tak ada pilihan. Dengan bantuan seorang kenalan, sebelumnya saya sudah berusaha mencari pondokan lain. Menurutnya, ada dua tempat yang telah dia tawari. Keduanya menolak menampung saya. Dengan alasan, saya bukan asli penduduk sana. "Kalau uhang kito, suhoh dio kuhin. Jika dari suku A, mintok mauf akau ideak." ("Kalu orang kita, suruh dia ke sini. Jika dari suku A, mohon maaf saya tidak mau.") Begitu sahabat tersebut melaporkan ke pada saya.

Terakhir saya tahu. Rupanya, dari sekian jumlah penduduk dusun tersebut, ada satu yang berasal dari Palembang. Dia menikah dengan gadis setempat. Sisanya, anak negeri itu asli. Jika ditambah saya, pendatangnya jadi dua.

Saat sore menjelang senja, kepala saya dipadati suka dan duka. Suka, karena cita-cita saya menjadi guru sudah terwujud. Selembar kertas dari pejabat gubernur provinsi Jambi telah di tangan. Judulnya 'Surat Keputusan', mengangkat saya sebagai Guru di Sekolah Dasar Nomor 124/III di dusun itu. Duka, sebab terpisah dari suami tercinta yang bekerja dan berdomisili jauh di rantau lain.

Semuanya terasa asing. Mandi di sungai aliran irigasi, lebarnya kira-kira satu meter, hulunya entah dipakai oleh berapa dusun. Air minum berasal dari sepetak kolam enceng di belakang rumah.

Majlis Guru SD No. 124/III berpose di halaman depan sekolah pada tahun 1979. (dokumen pribadi)
Majlis Guru SD No. 124/III berpose di halaman depan sekolah pada tahun 1979. (dokumen pribadi)
Untuk mengambilnya meniti selembar papan lapuk berlumut, tiga meter di atas permukaan sungai tempat mandi tadi. Yang menambah pusing tujuh keliling, bahasa tuan rumah yang belum saya pahami. Padahal mereka sangat ramah. Senyumnya tulus. Dari awal saya membaca, raut wajahnya mengharap agar saya betah tinggal bersama mereka.

Semalaman saya tak bisa tidur. Pikiran ini dipadati oleh hasutan. Lebih baik pulang ke kampung saja atau kembali ke Dumai Riau, berkumpul bersama suami. Namun naluri keteguhan mengantar bisik, agar tetap bertahan dan bertahan. Endingnya, saya menangis dalam selimut.

Belum pernah terbayang di benak saya akan terlempar sejauh itu. Jika hendak ke ibu kota kabupaten (Sungai Penuh), harus pagi sekitar pukul delapan. Menunggu jeep treler lewat dari Bangko. Itulah satu-satunya transportasi dari ibu kota provinsi. Pulangnya pukul tiga sore. Numpang mobil itu lagi.

Sebenarnya, dusun ini tidak terosilir. Akses jalan cukup memadai, walaupun belum beraspal. Sesuai zamannya, transportasi saja yang belum lancar. Bagi orang berada dan mempunyai sepeda, mungkin kondisi begini tiada masalah. Pulang perginya cuma tiga puluh kilometer.

Besoknya, pukul setengah delapan kurang lima menit, saya sudah berada di sekolah yang dituju. Lokasi gedungnya sangat strategis. Di lereng bukit. Di bawahnya terhampar sawah yang luas. Belum lagi lika liku penampakan danau, yang seakan bertekuk di kaki gunung Raya. Kondisi ini sejenak dapat melupakan kegundahan yang menggaggu saya tadi malam. Ditambah keramahan guru dan siswanya.

Seperti sekolah lainnya, para siswa berpakaian semaunya (belum berseragam). Masih banyak juga yang nyeker. Beberapa siswa perempuan kelas enam, rambutnya disasak gaya Ibu Pejabat. Alisnya hitam tebal, bibir dan pipinya merah menyala. Dilengkapi pula dengan eyeshadow beraneka warna. 

Tubuhnya mulai menunjukkan ciri-ciri remaja. Siswa laki-laki pun demikian. Ada yang nada suaranya sudah agak berubah. Bibir atasnya mulai ditumbuhi kumis-kumis tipis. Tapi pakai celana pendek dan baju apa adanya. Ada juga yang mengenakan kopiah hitam seperti bapak-bapak akan melaksanakan salat Jumat.

Pukul tujuh tiga puluh besi plat mobil dipukul. Anak-anak berhamburan ke halaman, terus melaksanakan Upacara Bendera. Saya baru sadar waktu itu hari Senin. Giliran menyanyikan lagu Indonesia Raya, saya tertawa di dalam perut. 

Kedengarannya aneh bin lucu, iramanya jauh melenceng dari nada aslinya. Vibranya bergetar mirip suara pedangndut A. Rafiq. Lagu penutup, Garuda Panca Sila. Tidak hanya beda irama, syairnya ada yang tidak nyambung. Ptriot proklamasi, mereka ganti dengan brok brok brok la ma si la.

Sebelum masuk kelas, Ibu Guru kelas satu merazia siswa perempuan. Yang tidak pakai celana dalam, diberikan pengarahan, agar besoknya hal serupa jangan terulang lagi.

Sebagai orang baru, saat itu saya menjadi pusat perhatian warga sekolah. Anak-anak memandang saya dari ujung kaki sampai ke kepala. Tiba-tiba seorang siswa perempuan kelas lima bertanya, "Bu, dimana Ibu beli baju cantik begini? Saya tersenyum-senyum manis memeram malu.

Karena belum ada pembagian tugas, kepala sekolah minta saya masuk ke kelas lima. Kata beliau sekalian menjajaki dan menguasai panggung. "Ibu mau mengajar apa, terserah."

Baru beberapa patah kata saya memperkenalkan diri, salah satu siswa laki-laki berbadan gaban batuk. Disusul yang lain. Selanjutnya saling bersahutan. Sehingga kelas menjadi riuh seperti festival batuk tingkat kabupaten. Saya gugup, akhirnya tidak kuat bertahan. Terus ngadu kepada atasan.

Begitu kepala sekolah masuk, "par, par, par," mereka dikasih bogem mentah orang per orang. Laki-laki perempuan tanpa kecuali. Saya sedih dan serasa bersalah menyaksikan pemandangan begitu.

"Anak-anak di sini tidak bisa diajak berlemah lembut, Bu," Ujar kepala sekolah. Terus keluar.

Ilustrasi: Foto tryning Senam Kesegaran Jasmani di halaman sekolah, sebelum berangkat mengikuti Lomba ke Kecamatan Tahun 1990 (dokumen pribadi)
Ilustrasi: Foto tryning Senam Kesegaran Jasmani di halaman sekolah, sebelum berangkat mengikuti Lomba ke Kecamatan Tahun 1990 (dokumen pribadi)
Ketika pulang, mulai dari pintu kelas/ruang guru sampai ke jalan raya, anak-anak berteriak ramai sekali. "Pak! Pak! Buk! Buk! Pak! Pak!" Saya ternganga-nganga, memahami situasi mengapa mereka begitu. Berantam tidak bergurau pun bukan.

Saya tanyakan kepada Bu Guru kelas satu. Rupanya, mereka mengajak Bapak dan Ibu Guru mampir. "Singgah, Pak! Singgah Buk!"

Di sekolah tersebut ada enam guru. Delapan termasuk saya dan Kepala Sekolah. Setiap siswa meneriaki ajakan, "Singgah Pak!" atau "Singgah Buk!" terhadap semua guru satu per satu. Waduh, bisingnya minta ampun. Pekikan berakhir setelah yang diteriaki naik sepeda dan menjauh.

Hari berikutnya, jam istirahat pertama saya berhadapan dengan ketegangan lain. Siswa berantam saling keroyok. Masalahnya berawal dari salah satu anak perempuan menangis gara-gara diganggu siswa nakal. Oleh saudara laki-lakinya, pelaku dihajar rame-rame. Gayung pun bersambut. Pihak lawan mengambil peluang.

Hebatnya, mereka sangat mudah disuruh berdamai. Air matanya kering, marah pun berakhir.

Lain peristiwa hari pertama, dua, dan tiga, beda pula pada hari ke empat. Waktu istirahat ke dua, beberapa siswa laki-laki makan pisang mentah secara berjamaah. Termasuk kedua kubu yang bertikai kemarin. Saya tanyakan, dapat dari mana?"

"Di kebun belakang, Bu." Jawabnya serentak.

Astaghfirullahalazdim. Kiranya, tanpa menggunakan parang, dan tiada pula seizin pemiliknya, sebatang pisang tumbang sampai ke akar-akarnya. Buahnya mereka lahap bersama-sama. Yang tersisa hanya kulitnya bergelimpangan di pekarangan sekolah.

Bapak dan Ibu Guru hanya tersenyum-senyum simpul. "Percuma dilarang. Menghabiskan energi," kata Pak Guru kelas tiga.

Rata-rata nasib buah pisang di belakang sekolah tersebut berakhir di dalam perut mereka. Pelakunya pun turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Sampai akhirnya anak cucu tanaman tersebut musnah ditelan kepunahan.

Namun di balik karakter siswa yang keras, tersimpan potensi yang luar biasa. Kecerdasan mereka susah ditandingi. Dimana-mana bertanding, baik bidang olah raga dan seni, maupun lomba mata pelajaran, peserta dari sekolah saya sulit dikalahkan. Minimal menjadi pemenang kecamatan. Dan beberapa kali sampai ke provinsi.

Setelah dewasa, kehidupan mereka sudah membaik. Dalam artian, ekonominya sudah mapan. Ada yang berprofesi sebagai guru, dosen, atau pedagang. Sebagian lainnya memilih bekerja di Malaysia. Rumahnya bagus-bagus dan besar. Anak-anaknya juga banyak yang berhasil, menjadi sarjana, guru, bidan dan lain sebagainya. Mereka dan keluarganya sangat santun kepada mantan gurunya. Termasuk kepada saya.

Saat bertemu, ringan lidahnya mengucapkan maaf atas kenakalan yang pernah dilakukannya. Bahkan ketika bersalaman ada juga yang mencium tangan saya. Meskipun mereka sudah bercucu.

Mei 2017 , saya melancong ke Malaysia. Bertubi-tubi deringan telepon mereka masuk ke handphone saya. Sayang, tiada seorang pun yang sempat bertemu.

Di samping tempat tinggalnya yang relatif jauh dari Kuala Lumpur, kedangan saya tidak pada hari libur. Saya juga terikat dengan biro dan paket wisata yang sudah dibeli. Saya bangga. Rupanya anak-anak nakal pada zaman dahulu, adalah aset berharga bagi kebahagiaan guru di hari tua. 

Selamat Hari Pendidikan Nasional. 

***

Simpang Empat Danau Kerinci,  02052018

Penulis,

Hj. Nursini Rais.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun