Saya lahir dan dibesarkan di tengah keluarga sangat sederhana. Orang tua saya hanya seorang petani miskin. Sebagai anak pertama, dari umur sepuluh tahun saya dilibatkan  dalam pekerjaan rumah tangga. Menjaga adik-adik, mencuci dan memasak.  Ketika musim turun ke sawah, orangtua pergi pagi pulang sore. Saatnya pula saya harus berhenti sekolah. Dan, kembali masuk saat ibu melahirkan adik baru lagi, sampai bayinya berusia dua tanun. Penderitaan serupa berulang-ulang, sampai saya punya adik empat. Pengalaman tersebut membuat saya trauma. Makanya, setelah menikah saya dan suami sepakat untuk punya anak dua saja. Â
Ternyata, kesepakatan kami belum mengakhiri  urusan asuh-mengasuh. Setelah kelahiran si sulung, gaji saya sebagai guru, dan penghasilan suami tidak mampu membayar Asisten Rumah Tangga untuk menjaganya. Suka tidak suka suami harus rela meninggalkan profesinya sebagai pedagang kaki lima.  Dari pagi sampai siang, dia ngemong si kecil.  Sore hari menyelesaikan kuliahnya.
Setelah si bayi berusia dua tahun, saya gendong dia ke sekolahan. Setiap pagi berjalan kaki menempuh jarak satu kilometer lebih. Ketika sedang mengajar, saya biarkan dia main tanah di luar. Mujurnya, di halaman banyak murid kelas dua yang kebetulan masuk siang, menemani dan mengajak dia bermain. Kiat ini juga saya terapkan dalam membesarkan anak ke dua. Sebab, usai kuliah, ayahnya langsung  bekerja. Sementara anak pertama mulai masuk SD.  Waduh, saya benar-benar capek.
Bila terkenang  masa-masa itu, saya sedih dan merasa bersalah kerena tak dapat memanjakan  mereka dengan kasih sayang melimpah. Seperti anak-anak yang ibunya tidak bekerja di luar rumah.  Andaikan waktu bisa diputar mundur, akan saya jemput momen-momen tersebut, untuk melunasi hak mereka yang masih menggantung dalam kesibukan saya dahulu.
Setelah keduanya tumbuh dan besar, satu-persatu mereka meninggalkan rumah. Lulus SD, dua bersaudara tersebut minta melanjutkan sekolah di  ibu kota kabupaten sampai tamat SMA. Tinggal di rumah kost bersama anak sekolahan lain. Kemudian berlanjut ke luar daerah menyelesaikan kuliahnya masing-masing.
Dalam usia yang relatif muda kami berdua  mengawali hidup seperti pasangan manula ditinggalkan anak. Hari-hari terasa sepi. Apa-apa yang saya makan khusus makanan kesukaan mereka, seakan tak sanggup kerongkongan ini menelannya. Sering saya usulkan kepada suami, kalau memasak agak spesial menunggu anak-anak kembali dan berkumpul semua. Perasaan begini menggelayuti benak saya  sampai bertahun-tahun.
Kadangkala saya menyesal, Â kenapa cuma punya anak dua. Mereka anak baik, tiada banyak tingkah dan tak pernah merepotkan orangtua. Penyesalan saya semakin dalam tatkala keduanya telah menyelesaikan pendidikan. Â Coba kalau ada tiga atau empat. Si sulung kuliah di jurusan A, dan bekerja di bagian B. Yang ke dua, tiga dan empat beda lagi. Sesuai minat dan bakatnya orang-perorang. Â Ah! Benar kata orang tua-tua, Â penyesalan selalu datang belakangan.
Kini, keduanya pergi bertambah jauh mengikuti takdirnya masing-masing. Â Yang tertua perempuan, menikah, bekerja, dan berdomisili di kota Jambi. Si cowok ragil bekerja, berjodoh, dan menetap di kota Bengkulu. Semuanya sibuk dengan aktivitas dan urusan rumah tangganya sendiri-sendiri.
Sungguhpun demikian, rasa rindu saya kepada mereka tak pernah kering. Memang, kompasnya cendrung berpindah arah. Lebih mendambakan wajah cucu-cucu ketimbang emak bapaknya.  Untungnya, berkat kecanggihan teknologi, minimal dua hari  sekali kami meluangkan waktu untuk bertatap muka melalui video call. Enaknya lagi, semenjak Bandara Depati Parbo melayani penerbangan Kerinci-Jambi dan Jambi-Bengkulu, jarak jauh tidak lagi menjadi kendala. Setiap saat kami bisa saling mengunjungi.
Yang membesarkan hati,  sekali setahun setiap lebaran  mereka pasti pulang. Kecuali salah satu keluarga tersebut sedang berada di luar negeri.  Inilah saat yang paling kami tunggu-tunggu, sebagai pengganti ritual Valentine's Day. Walaupun tidak bertepatan dengan  tanggal 14 Februari.
Kebiasaan saya, setiap menyambut kedatangan anak menantu dan  cucu, khususus saat lebaran, stok bahan dapur super banyak. Mereka tinggal bilang minta masak  apa. Yang suka sop, rendang,  kaliao, dan asam padeh  dibikin semua. Selesai salat Eid, makan enak rame-rame masakan ibundanya tercinta.  Pokoknya sekali setahun berkumpul bersama, kehangatan keluarga benar-benar terasa.
Mumpung masih sehat dan kuat, selama semuanya berada di rumah, saya berupaya memanjakan selera mereka. Setelah setahun jenuh dengan rutinitasnya dan menu yang itu ke itu saja. Urusan dapur, saya tidak mengharapkan tenaga siapa-siapa. Paling bantu-bantu mencuci piring dan memotong sayur. Bagi saya, selama berkumpul bersama keluarga, bergelut dengan periuk dan kuali merupakan kepuasan  tersendiri. Terlebih saat menyaksikan mereka menyantap dengan lahapnya. Sehingga kerinduan untuk melayani anak-anak seperti masa dahulu terobati.
Puas berpesta pora di rumah, anak cucu minta pindah lokasi ke kebun. Makan bersama di pinggir sungai. Si kecil mandi berenang, menangkap anak ikan, dan membuat bendungan dari bebatuan. Mereka  senang tiada terkira  dan menolak diajak pulang.
Lain di Bengkulu, beda pula di Jambi yang terkenal dengan pempeknya.  Tanpa diminta, anak menantu sudah paham kalau makanan yang manis-manis pedas tersebut paling diincar ayah mereka. Dikemas  dalam beragam cita rasa dengan sebutan nama yang klasik. Ada pempek telor, kapal selam, pempek lenggang, dan lain sebagainya. Ada pula Pempek cerewet dan kelimpungan.  Getaran kenikmatannya lebih berasa apabila cuko atau kuahnya agak pedas.
Berkenaan dengan restoran,  di Jambi dan tempat saya  beda-beda tipis. Untuk memperoleh kesan dan kepuasan bervariasi,  sekali-sekali anak menantu memboyong kami  ke Kuala Tungkal mencari makanan bernuansa laut. Di sana kepiting dan  udangnya besar-besar. Nyaris tak pernah ditemui di tempat lain yang pernah saya kunjungi.  Kecuali di daerah pantai seperti Kuala Tungkal dan Bengkulu. Lagi-lagi gulai kepala ikan laut segar adalah pilihan spesial bagi ayah mereka. Gede ikannya, enak masakannya. Tanpa malu-malu, tangan anggota keluarga sibuk menggerayangi isi piring yang tersaji di meja, sesuai selera masing-masing. Saat seperti itulah sensasi kehangatan keluarga tercipta secara alamiah. Kesulitan saya dalam mengasuh dan mendidik mereka dahulu pun seakan luluh. Inilah Rahmat Sang Pencipta yang tak mungkin saya ingkari.
Hal lain yang wajib saya  syukuri, derita yang pernah saya alami bersama orangtua dahulu, tidak terulang pada anak cucu saya. Pahit getirnya dalam membesarkan anak-anak pun bagi  keduanya tiada terlalu signifikan. Meskipun  suami isteri  bekerja di luar rumah. Kantong mereka mampu membayar Asisten Rumah Tangga.
***
Simpang Empat Danau Kerinci, 15032018
Penulis,
Hj. Nursini Rais
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H