Aku lahir dari rahim perempuan desa. Kedua orangtuaku berpisah semasa aku lima bulan dalam kandungan. Ayahku kembali ke mantan isterinya yang telah dua tahun dia ceraikan.
Tinggal dan besar bersama orangtua tunggal tidak membuatku berkecil hati. Karena dari ibu aku memperoleh kasih sayang yang berlipat-lipat. Belum tentu dimiliki oleh anak dalam lingkungan keluarga lengkap.
Sebagai wanita kampung yang kenyang dengan penderitaan hidup, ibuku tidak pernah mengeluh dengan peran yang dilakoninya. Untuk memenuhi kebutuhan kami sehar-hari, beliau bekerja sebagai pedagang kere dari pekan ke pekan. Sebatas sandang dan pangan boleh dibilang lebih dari cukup. Hanya membangun rumah bagus yang beliau belum mampu. Aku dan ibuku tinggal di rumah panggung tua peninggalan nenek buyutku dari pihak ibu. Apabila malam telah tiba, Â kami hanya berteman dengan lampu minyak, yang tak pernah lupa dengan jelagah hitamnya.
Menurut cerita ibuku, ketika aku berumur delapan bulan, beliau pernah menikah dengan laki-laki lain berstatus jejaka. Katanya, kawin balas dendam. Tersebab pernikahan pertamanya dengan pria berstatus duda, yang tak lain adalah ayah kandungku.
Karena tidak ada kecocokan, perjodohan ke duanya hanya berlangsung seumur jagung. Ibuku memutuskan menjanda untuk episode ke dua.
Masih ceritanya, setahun kemudian ibuku kembali melepaskan predikat jandanya. Beliau dinikahi oleh duda beranak satu. Lagi-lagi ibuku terperangkap dalam pilihan yang salah. Tiga bulan kemudian sang suami memboyong isteri pertamanya berangkat ke pulau jawa untuk menunaikan tugasnya sebagai TNI. Semenjak itu, dia tak pernah kembali lagi. Kabar tidak berita pun tiada. Hubungan mereka berakhir dengan hadirnya sampul putih berisi surat cerai yang diantarkan tukang pos ke alamat kami. Ketiga pernikahan ibuku tersebut tiada terekam dalam memoriku. Yang aku tahu, beliau adalah seorang perempuan tanpa suami.
Meskipun pendidikannya sebatas kelas satu Sekolah Rakyat, ibuku pintar mendidikku cara bertatakrama, seperti emak-emak kampung lainnya. Beliau sangat menyayangiku. Apa saja yang aku pinta, selalu dikabulkannya. Asal tidak membahayakan jiwaragaku. Â
Aku pun sangat mencintai ibuku. Aku nyaman di sampingnya. Pelukannya terasa hangat. Aroma tubuhnya yang semerbak, membuatku enggan melepaskan dekapannya. Saat beliau berada di rumah, aku tak mau bermain di luar. Apabila dia minta bantu, nyaris tak pernah aku membantah. Hanya satu yang aku khawatirkan, jika dirinya dekat dengan lelaki, lalu menikah lagi. Aku berpikir, kalau ibuku bersuami, kasih sayangnya padaku akan musnah, atau setidaknya berkurang.
Sebelum tidur, beliau sering berdongeng sambil menyelisik telur kutu di kepalaku menggunakan ujung jemarinya. Beliau juga suka bercerita tentang zaman dahulu. Semasa kecilnya memakai baju dari kulit kayu, adalah tema yang berkali-kali dia ulang. Begitu juga tentang kepahitan hidupnya di masa kolonial.
"Mak berharap kamu dulu laki-laki, ternyata Tuhan memberikan yang lain. Kau lahir sebagai perempuan. Tak apa. Mak bersyukur dan tak pernah menyesali kelahiran atau jenis kelaminmu. Mak sendirian membesarkanmu, itu juga Mak terima dengan lapang dada," ujarnya  usai menceritakan peristiwa kematian adik laki-lakinya akibat tenggelam di sungai.
 "Untuk apa saudara laki-laki, Mak. Yang mencari makan tetap juga Mak sendiri."
 "Tetapi Mak butuh penguat. Agar kita disegani dalam kampung."
Tradisi di kampungku, memang begitu. Keluarga yang tidak punya saudara laki-laki, cendrung kurang disegani. Makanya, ibuku sangat mendambakan saudara atau anak laki-laki. Untuk melampiaskan keinginannya tersebut, beliau sering membelikan aku pakaian anak cowok. Semasa masih kecil, hal begitu bagiku tidak masalah. Setelah usiaku jalan tujuh tahun, aku sudah pandai protes.
Suatu hari ibu membelikan aku pakaian. Kemeja panjang tangan dan jaket warna  hitam. Harganya relatif mahal jika dibandingkan dengan gaun atau rok dan blus. Awalnya aku menolak. Demi menimbang dan menghargai perasaan beliau, aku paksakan hati untuk menerima. Tetapi aku tak pernah mau memakainya.
Setiap akan bepergian, ibu ngotot agar aku mengenakinya. Aku menolak dan terus menolak. Alasanku hanya satu, "Baju itu untuk anak laki-laki." Besoknya aku dipaksa lagi. Bertubi-tubi pujian meluncur dari bibirnya, "Kemejanya cantik, anak gadisku manis."
Aku tetap memegang prinsip, sekali tidak suka, tetap tidak suka. Karena terus didesak, aku kesal. Amarah menguasai dadaku. Kuambil baju tersebut, terus kumasukkan ke dalam lesung. Tanpa pikir panjang, sambil berurai air mata aku tumbuk menggunakan alu hingga setengah lumat.
Peristiwa tragis itu membuat ibuku meratap. Aku juga menangis. Kemejanya hancur bak diiris.
Kini, prahara kemeja merah muda itu tinggal sejarah. Tak mungkin terpisah dari ingatanku sampai ajal datang menjemput. Anehnya, setelah aku dewasa, oleh ibuku insiden tersebut menjadi cerita lucu dan bahan olokan. Seujung rambut pun tiada terbersit di wajahnya dendam dan marah padaku.
Namun, setelah ibuku tiada, aku sedih bila teringat betapa ibuku tersakiti karena ulahku dikala itu. Meskipun telah puluhan kali aku minta maaf, kesalahan tersebut sering mengusik ketenanganku. Puluhan tahun pula aku berusaha membunuh ingatan itu, tetap tak mampu melakukannya. Malah makin dilupa bertambah teringat. Terlebih ketika  masuk atau melewati toko pakaian jadi. Apalagi saat membeli baju buat si kecil. Tanpa terasa, saat menulis cerita ini pun pipiku basah berurai air mata. Jika sudah demikian, hanya doa yang mampu kubisikkan. Tuhan! Bawalah aku ke alam mimpi, untuk menatap wajah ibuku.
Terakhir aku menduga, Mungkin dengan melihat aku pakai kemeja dan jaket, kerinduan ibuku memiliki adik atau anak laki-laki jadi terobati. Hanya saat itu beliau belum menguasai kiat untuk  meraihnya. Dirinya juga tiada menyadari bahwa anak perempuannya ini memiliki prinsip yang kodratiah.
***
Simpang Empat Danau Kerinci, 02012018
Memory di awal tahun
Penulis,Â
Hj. Nursini Rais
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H