Mohon tunggu...
Nursin R. Gusao
Nursin R. Gusao Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Sosial

Saya perempuan dan saya suka menjelajahi waktu

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Tentang Sade Lombok, NTB, dan Cerita yang Tak Usai

6 Maret 2023   11:59 Diperbarui: 19 Maret 2023   09:16 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengunjung saat diajarkan cara menenun. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Awal bulan lalu adalah momen indah bagi semua orang, begitupun saya. Semangat itu tidak kalah, saya terpaksa melihat Lombok dengan nyata. Satu tempat dimana ia menjadi mimpi bagi saya.

Lombok sedari dulu terus terekam dalam ingatan, tempat yang harus saya kunjungi akhirnya terlaksana. Awalnya, keberangkatan ke Lombok telah diatur dengan rapi. 

Namun karena kelalaian, saya terpaksa berangkat esok harinya dengan pesawat Lion Air. Walaupun kegagalan saya berangkat awal membuat cemas dan khawatir, tapi tidak mengurangi niat saya untuk tetap melihat Lombok dengan keindahannya yang tidak terbayar.

Gagal ke Lombok menguras pikiran dan tenaga, bahkan rasa cemas menghantui. Sekiranya 2 hingga 3 jam lamanya, saya berupaya koordinasi dengan pihak maskapai penerbangan lain dengan tujuan yang sama namun menggunakan pesawat yang berbeda. 

Hasilnya diberi kesempatan dengan syarat, kembali memesan tiket dengan potongan harga 90% dari Rp. 3.500.000 awal menjadi Rp. 2.452.000. 

Syarat itu saya lakoni, walaupun harus berangkat tidak sesuai jadwal sebelumnya. Bagi saya, Lombok sangat penting, apapun resikonya.

Kegagalan awal adalah motivasi untuk tetap bangkit. Besoknya, tepat pada Senin, 7 Febuari 2023, pukul 06:40 Wit keberangkatan ke Lombok itu tercapai. 

Dari bandara Sultan Babullah Ternate, ke bandara Hasanudin Makasar, pesawat itu mendarat dengan selamat. Kemudian penerbangan dilanjutkan ke bandara Internasional Juanda, Surabaya. Saya melakukan perjalanan ini seorang diri, sungguh menjadi tantangan dan pengalaman besar bagi saya. 

Walaupun harus sigap dengan lingkungan baru, karena dengan ini, banyak pembelajaran dan cerita yang dipetik. Sebab, mandiri dan menjadi perempuan petarung disetaip perjalanan adalah kunci melawan rasa takut.

Ketika pertama kali tiba di bandara Intrnasional Lombok Praya, NTB, mata saya dimanjakan banyaknya spot foto  dengan background keindahan wisata Lombok, seperti rumah adat, tempat wisata, kuliner dan banyak lainnya yang mengharuskan saya untuk mengunjungi sejumlah lokasi itu.

Lombok sendiri dalam catatan-catatan tertentu, di kenal dengan nama pulau seribu Mesjid. Pulau dengan banyaknya tempat wisata dan budaya yang masih asrih ini menjadi tempat semua wisatawan untuk tidak mengurungkan niat mereka berkunjung ke sini.

Saya sendiri, ketika pertama kali sampai ke Lombok, hal utama yang dipikirkan adalah mencari tempat pembuatan tenunan yang dihasilkan oleh perempuan hebat di Lombok. 

Setelah sampai ke Lombok, saya memilih untuk beristirahat sejenak di Hotel. Tempat yang sudah disediakan oleh beberepa orang teman-teman itu membuat saya nyaman berada disana.

Esoknya, saat matahari pagi pecah dan semangat serta tenaga  pun pulih seperti semula, petualangan keliling Lombok dimulai. 

Pagi itu, tepat pukul 10:00 Wita, saya berkesempatan mengunjungi salah satu Desa adat di Lombok Barat yang terkenal dengan hasil karya tangan perempuan Lombok yakni tenun di Desa Sade

Desa Sade, dari cerita yang diketahui adalah satu-satunya Desa yang bisa dibilang sangat tertua di Lombok. 

Sade yang diartikan sebagai obat/kesadaran ini menjadi kampung tua juga tempat tinggal para leluhur terhitung sejak tahun 1200 M kemudian dibuat tempat wisata sekitar tahun 1993 lalu.

Hal yang membuat Desa Sade tetap menjadi yang terbaik untuk para wisatawan adalah soal keramahan yang diperlihatkan oleh warga setempat. 

Keramahan itu membuat semua orang menjadi nyaman saat berkunjung, apalagi menikmati penampilan budaya yang telah tertanam dan berlangsung sejak lama. 

Budaya Desa Sade hingga saat ini masih dijunjung tinggi, bahkan ditampilkan di semua orang baru saat berkunjung ke sana. Kemudian, untuk bentuk rumah tempat mereka tinggal juga terbilang sangat unik. Bentuknya berukuran pendek dan disebut Bali. 

Bentuk rumah yang cenderung pendek memiliki makna bahwa setiap orang memasuki rumah harus merunduk untuk memberi salam kepada tuan rumah, sungguh makna yang mendalam.

Dari gerbang masuk Desa Sade mata kita disuguhkan  hasil karya tenun yang dikerjakan oleh para perempuan tangguh Desa Sade yang beragam. Mulai dari, kain, tas, syal, hingga pernak-pernik lainnya. 

Saya merasa kagum dan takjub datang kesini. Dengan keberagaman budaya yang ada, ada hal yang menjanggal di pikiran saya yaitu persoalan kehidupan perempuan di Desa Sade. 

Sejak awal kaki ini melangkah dari gerbang, tidak terlihat sosok perempuan yang berlalu-lalang dikeramaian wisatawan, ternyata perempuan-perempuan Desa Sade berdiam diri setiap rumah untuk menawarkan hasil tenun kepada setiap wisatawan yang lewat di depan rumah mereka.

Pengunjung saat diajarkan cara menenun. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Pengunjung saat diajarkan cara menenun. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Hal ini tentunya menghadirkan rasa penasaran saya dan saya jelajahi sudut Desa Sade sekedar melihat kehidupan perempuannya, satu kebanggaan yang luar biasa ialah  hasil tenunan yang dipajang disetiap rumah itu karya dari perempuan Desa Sade. 

Namun yang membuat saya tercenggang kemudian seketika mendengar bahwa perempuan yang telah menguasi teknik menenun kain mereka sudah boleh di nikahkan atau dalam bahasa harian mereka sudah boleh di “culik” walaupun masih berusia belasan tahun.

Anak-anak perempuan Desa Sade tidak diperbolehkan keluar dari Desa hanya sekedar mencari jodoh diluar, jika harus keluar maka perempuan tersebut digantikan dengan seekor kerbau sebagai gantinya. 

Sehingga mereka harus tetap memilih menikah dengan lelaki yang ada di Desa Sade meskipun memiliki ikatan saudara agar tidak menghilangkan garis turunan dari suku Sasak Sade itu sendiri. 

Saya kemudian coba mengambil sisi positif dari apa yang saya temukan, lagi-lagi saya ditampar oleh kenyataan bahwa sudah saatnya perempuan berhak memilih atas apa yang menjadi hak mereka dan memilih keluar dari ranah domestik yang justru mengekang kehidupan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun