Dari gerbang masuk Desa Sade mata kita disuguhkan hasil karya tenun yang dikerjakan oleh para perempuan tangguh Desa Sade yang beragam. Mulai dari, kain, tas, syal, hingga pernak-pernik lainnya.
Saya merasa kagum dan takjub datang kesini. Dengan keberagaman budaya yang ada, ada hal yang menjanggal di pikiran saya yaitu persoalan kehidupan perempuan di Desa Sade.
Sejak awal kaki ini melangkah dari gerbang, tidak terlihat sosok perempuan yang berlalu-lalang dikeramaian wisatawan, ternyata perempuan-perempuan Desa Sade berdiam diri setiap rumah untuk menawarkan hasil tenun kepada setiap wisatawan yang lewat di depan rumah mereka.
Hal ini tentunya menghadirkan rasa penasaran saya dan saya jelajahi sudut Desa Sade sekedar melihat kehidupan perempuannya, satu kebanggaan yang luar biasa ialah hasil tenunan yang dipajang disetiap rumah itu karya dari perempuan Desa Sade.
Namun yang membuat saya tercenggang kemudian seketika mendengar bahwa perempuan yang telah menguasi teknik menenun kain mereka sudah boleh di nikahkan atau dalam bahasa harian mereka sudah boleh di “culik” walaupun masih berusia belasan tahun.
Anak-anak perempuan Desa Sade tidak diperbolehkan keluar dari Desa hanya sekedar mencari jodoh diluar, jika harus keluar maka perempuan tersebut digantikan dengan seekor kerbau sebagai gantinya.
Sehingga mereka harus tetap memilih menikah dengan lelaki yang ada di Desa Sade meskipun memiliki ikatan saudara agar tidak menghilangkan garis turunan dari suku Sasak Sade itu sendiri.
Saya kemudian coba mengambil sisi positif dari apa yang saya temukan, lagi-lagi saya ditampar oleh kenyataan bahwa sudah saatnya perempuan berhak memilih atas apa yang menjadi hak mereka dan memilih keluar dari ranah domestik yang justru mengekang kehidupan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H