POLITIK SUBSIDI ENERGI MIGAS Â seharusnya dapat dialihkan ke dana pembangunan infrastruktur energi yang memperbaiki EFISIENSI dan keberlanjutan energi itu sendiri seperti NEGARA wajib membangun UNDERPASS/ FLYOVER yang mengurangi KEMACETAN di persimpangan JALAN dan jalur KERETA API sehingga efisiensi energi akan tercipta untuk sistem transportasi. Â
NEGARA wajib mengadakan bus-bus yang layak pariwista mancanegara dan membangun terminal yang menciptakan angkutan umum mennjadi pilihan utama, bukan angkot atau sepeda motor yang seperti kembali ke zaman purba. NEGARA wajib membangun sistem kereta api di seluruh nusantara, bukan hanya di pulau Jawa dan Sumatra, kereta listrik COMMUTER AC Â harus ada di setiap provinsi dan kota Indonesia, jadi harus ada di 546 pemda nusantara.
Tentunya mengurangi DEFISIT NEGARA yang semakin lama semakin menjadi akut sejak tahun 2012 akibat DEFISIT MIGAS.
Ada korelasi penyebab meledaknya subsidi BBM MIGAS untuk listrik dengan margin negatif usaha PT PLN (Persero) dari tahun 2004-2018 sekarang di seluruh provinsi Indonesia (33 provinsi). Penyebab margin negatif usaha listrik PLN ini adalah:
Besarnya HARGA GAS ALAM yang diterima PLN 2-3 x lipat harga gas pasaran dunia.
Masih terus dioperasikannya pembangkit listrik BBM DIESEL dengan bauran 8% sementara rata-rata bauran PLTD dunia hanya 3%. Dengan kata lain Indonesia boros minyak padahal sudah menjadi net pengimpor minyak.
Berdasarkan data yang dipublikasikan setiap tahun oleh Badan Energi Dunia (IEA), pada kurun waktu tahun 2016, Indonesia masih mengeluarkan anggaran negara subsidi listrik untuk usaha ketenagalistrikan sebesar USD 11.2 milyar atau setara Rp 150 triliun/tahun 2016, sementara negara-negara VIETNAM, THAILAND, FILIPINA sejak tahun 2010 telah berhasil menghentikan beban negara subsidi listrik untuk usaha ketenagalistrikannya dengan tetap mempertahankan TARIF Â yang terjangkau.
Diindikasikan penyebab subsidi listrik adalah akibat INEFISIENSI sistem pembangkit listrik PLN.
Menurut penelitian konsultan Nurshakti Palapa Energy (NPE-ENERGY DOT COM), adanya inkonstitusional kebijakan UU terkait energi dan listrik, serta fragmentasi kebijakan yang sangat menonjolkan ego sektoral sangat mendominasi pola pengelolaan energi Indonesia di era reformasi 1998-2019.
Contoh di Malaysia (2001) dan negara lain sudah memberlakukan KOMISI ENERGI YANG INDEPENDEN, sementara Indonesia dengan DEWAN ENERGI (2007) hanya berfungsi sebagai PENASEHAT menteri ESDM yang tidak punya anggaran untuk melakukan efisiensi infrastruktur energi.
Kebijakan subsidi energi harus tepat sesuai dengan UU No 30/2007 tentang Energi, Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi : "Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi untuk kelompok masyarakat tidak mampu". Kebijakan subsidi tidak boleh disalahgunakan.