2. Stereotip Gender yang Berbahaya
Stereotip seperti "anak laki-laki harus kuat" dan "anak perempuan harus penurut" memperburuk situasi. Anak laki-laki yang menjadi korban sering kali merasa malu untuk melapor karena takut dianggap lemah, sementara anak perempuan menghadapi tekanan sosial untuk diam demi menjaga "kehormatan keluarga."
Partiarki membuat semua korban kekerasan seksual tidak mendapat keadilan. Menurut Thomas & Kopel (2023) menyatakan bahwa Laki-laki korban kekerasan sering merasa identitas maskulinitas mereka dipertanyakan atau bahkan meragukan orientasi seksual mereka sendiri, yang menyebabkan kebencian terhadap diri sendiri dan stigma sosial. Hal ini dikarenakan untuk laki-laki yang mengalaminya, mereka malah dibuat bahan bercandaan atau diejek karena tidak bisa melawan kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya, padahal stereotip laki-laki itu sendiri harus maskulin. Maskulinitas, adalah identitas gender yang ditujukan kepada laki-laki dalam masyarakat, mencakup sifat, peran, dan tindakan lakilaki (Miranti, 2021). Itulah mengapa stereotip maskulinitas dapat memperburuk stigma terhadap laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual.
Maka kekerasan seksual itu tidak hanya melihat umur, gender, pakaian tertutup maupun terbuka, dimana saja, kapan saja dan siapapun itu. Kekerasan seksual adalah murni salah pelaku bukan korban, karena sejatinya manusia memiliki kemampuan mengendalikan dirinya, dimana pelaku kekerasan seksual seharusnya dapat berpikir sebelum bertindak, tetapi mereka memilih untuk memuaskan nafsu mereka yang merugikan orang lain. Oleh karena itu rasanya tidak adil jika hanya korban yang harus berhati-hati menjaga diri sedangkan pelaku tidak diajarkan untuk bertanggung jawab dalam mengontrol dirinya sendiri.
3. Minimnya Pendidikan Seksual
Selain dari kedua hal tersebut, terdapat minimnya pendidikan seksual oleh banyak masyarakat patriarki menghindari diskusi tentang pendidikan seksual, yang sebenarnya penting untuk mencegah kekerasan.
Solusi dan Harapan
1. Pendidikan Kesetaraan Gender untuk Anak
Dengan adanya kesetaraan gender diharapkan dapat membantu mengatasi stereotip dan norma budaya yang berbahaya terkait dengan peran gender. Kesetaran gender (gender equity), adalah proses yang menghantarkan laki-laki dan perempuan secara dinamis untuk memperoleh akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam aktivitas kehidupan baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara (Ch dalam Miranti, 2021). Pendidikan yang mengajarkan anak-anak tentang kesetaraan gender dan hak mereka sejak dini dapat membantu memutus siklus patriarki. Anak-anak perlu diajarkan bahwa tidak ada satu pun yang berhak menyakiti mereka, baik secara fisik maupun emosional. Kesetaraan gender dapat membantu memerangi norma budaya yang memperbolehkan atau bahkan membenarkan kekerasan terhadap laki-laki. Namun sayangnya banyak juga laki-laki yang kurang paham akan kesetaraan gender, mereka berpikir bahwa perempuan bisa juga mengangkat galon ataupun memperbaiki motor, padahal mereka juga dirugikan dengan adanya sistem partiarki ini. Maka dari itu edukasi tentang hal ini sangat penting untuk ditingkatkan.
2. Pendidikan Seksual Sejak Dini
Pendidikan seksual sejak dini adalah langkah penting untuk mencegah kekerasan seksual. Menurut Yusuf, dkk. (2023) menyatakan bahwa pendidikan seks juga mencakup pemberian informasi kepada anak-anak serta membentuk pemahaman yang benar tentang seksualitas, seperti identitas seksual, kesehatan reproduksi, dan hubungan emosional. Dengan memberikan informasi yang tepat tentang tubuh, batasan pribadi, dan cara melaporkan kejadian yang tidak pantas, anak-anak dapat lebih terlindungi. Pendidikan ini juga membantu menghilangkan stigma terkait pembahasan seksualitas, yang sering kali menjadi penghalang dalam mencegah kekerasan.