Tahukah kamu bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah salah satu isu paling serius yang dihadapi dunia saat ini? Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia, pada tahun 2024 terdapat 18.630 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan, dengan jumlah korban laki-laki sebanyak 4.042 dan korban perempuan sebanyak 16.167. Di tingkat global, statistik menunjukkan bahwa sekitar 81% perempuan dan 43% laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual selama hidup mereka (SafetyCulture, 2023). Namun, hanya sekitar 35% perempuan yang melaporkan pengalaman tersebut, dan kurang dari 40% mencari bantuan. Bahkan, kurang dari 10% dari mereka yang mengalami kekerasan seksual melibatkan penegak hukum (World Population Review, 2024).
Angka ini sangat mencengangkan dan menunjukkan bahwa masalah ini tidak hanya terjadi di negara-negara tertentu, tetapi merupakan fenomena global yang merusak. Masalah ini tidak hanya berakar pada individu pelaku, tetapi juga pada sistem budaya yang melanggengkannya: patriarki yang mengakar kuat dalam struktur sosial, terutama di Asia. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri bagaimana budaya patriarki berkontribusi pada kekerasan seksual terhadap anak, serta mencari solusi untuk menghentikan siklus ini.
Membahas hubungan antara patriarki dan kekerasan seksual terhadap anak sangatlah penting. Ketika kita memahami bagaimana norma-norma patriarkal membentuk perilaku dan sikap masyarakat terhadap anak-anak, kita dapat mulai merancang intervensi yang lebih efektif untuk mencegah kekerasan ini. Patriarki tidak hanya berdampak pada perempuan dan anak perempuan, tetapi juga pada anak laki-laki dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan menggali lebih dalam ke dalam akar masalah ini, kita dapat menciptakan kesadaran yang lebih besar dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi anak-anak.
Apa itu Patriarki?
Patriarki adalah sistem sosial di mana laki-laki memiliki kekuasaan dominan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, dan budaya. Menurut Hermawan, dkk. (2023) menyatakan bahwa ideologi patriarki, yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki sebagai pihak yang lebih unggul, menyebabkan perempuan berada dalam posisi yang lebih rendah. Jadi dalam masyarakat patriarkal, norma-norma dan nilai-nilai sosial sering kali mengedepankan superioritas laki-laki dan menempatkan perempuan serta anak-anak dalam posisi subordinat. Hal ini menciptakan ketidaksetaraan gender yang mendalam dan memperkuat stereotip negatif yang dapat berujung pada kekerasan. Di banyak budaya, patriarki juga membentuk cara pandang terhadap kekerasan, di mana pelaku sering kali dimaklumi atau bahkan dilindungi, sementara korban disalahkan atau diabaikan.
Kekerasan Seksual terhadap Anak: Fakta dan Data
Kekerasan seksual adalah segala bentuk tindakan yang merendahkan, menghina, menyerang, atau melanggar tubuh, hak, dan kehormatan seseorang yang berkaitan dengan aspek seksual tanpa persetujuan mereka. Tindakan ini dapat mencakup perilaku fisik, verbal, atau non-verbal, yang menimbulkan dampak fisik, psikis, sosial, atau ekonomi pada korban. Kekerasan seksual dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan menimpa siapa saja, terutama anak-anak yang rentan dan tidak memiliki kemampuan untuk melawan (Mawarni, dkk., 2023). Kekerasan seksual terhadap anak dapat mengambil berbagai bentuk, termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual, dan eksploitasi seksual. Dampaknya pada korban sangat mendalam dan berlangsung seumur hidup, termasuk gangguan kesehatan mental, trauma emosional, dan dampak fisik yang dapat mengganggu perkembangan mereka. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual sering kali merasa terisolasi, malu, dan bingung, yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk mencari bantuan atau berbicara tentang pengalaman mereka.
Data menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan seksual terhadap anak sangat tinggi di seluruh dunia. Secara global, 650 juta (atau 1 dari 5) anak perempuan dan perempuan yang hidup saat ini telah menjadi korban kekerasan seksual saat masih anak-anak. Di antara anak laki-laki dan pria dewasa, antara 410 dan 530 juta (atau sekitar 1 dari 7) mengalami kekerasan seksual di masa kanak-kanak (UNICEF, 2024). Dari data tersebut menunjukkan bahwa nnak laki-laki juga tidak luput dari masalah ini, tetapi sering kali kasus mereka tidak terdeteksi karena stigma maskulinitas yang kuat.
Hubungan Patriarki dengan Kekerasan Seksual pada Anak
1. Relasi Kuasa yang Tidak Seimbang
Patriarki menciptakan lingkungan di mana kekerasan seksual dapat terjadi tanpa konsekuensi serius. Anak-anak, terutama perempuan, sering kali diposisikan sebagai pihak yang harus patuh terhadap otoritas laki-laki, baik itu ayah, saudara laki-laki, atau figur lain dalam masyarakat. Menurut Fushshilat & Apsari (2020) menyatakan bahwa berbagai bentuk kekerasan seksual atau kekerasan lainnya yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan pada dasarnya merupakan wujud ekspresi maskulinitas dalam interaksi atau hubungan mereka dengan perempuan.