Di era modern yang serba cepat, dua pendekatan gaya hidup yang mencolok hedonisme dan minimalisme kian populer. Hedonisme mendorong seseorang untuk mengejar kebahagiaan melalui kenikmatan duniawi, sementara minimalisme menekankan kesederhanaan dan fokus pada hal-hal yang esensial. Keduanya sering dianggap sebagai respons terhadap tekanan kehidupan kontemporer, seperti stres akibat pekerjaan, konsumsi berlebihan, hingga pengaruh media sosial.
Namun, bagaimana Islam memandang dilema antara kedua pendekatan ini? Sebagai agama yang memadukan nilai-nilai spiritual dengan kehidupan duniawi, Islam menawarkan perspektif yang berbeda. Islam tidak menolak kenikmatan dunia, tetapi menegaskan pentingnya keseimbangan antara kesenangan duniawi dan tujuan akhirat. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi pandangan Islam terhadap hedonisme dan minimalisme serta bagaimana Islam memberikan panduan untuk menemukan kebahagiaan sejati.
Pandangan Islam tentang Kebahagiaan
Dalam Islam, kebahagiaan sejati (sa’adah) bukanlah sekadar kesenangan fisik atau material, melainkan kedamaian hati yang berasal dari ketaatan kepada Allah SWT. Al-Qur’an menegaskan bahwa kebahagiaan yang hakiki bersumber dari iman dan amal saleh:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ٩٧
“Barang siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik...” (QS An-Nahl: 97)
Islam memandang kebahagiaan duniawi sebagai bagian dari kehidupan, tetapi tidak boleh menjadi tujuan utama. Kebahagiaan harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Konsep ini juga ditegaskan dalam hadis Rasulullah SAW:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup, dan merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya.” (HR Muslim)
Selain itu, Islam menekankan pentingnya keseimbangan antara dunia dan akhirat. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ ٧٧
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia...” (QS Al-Qasas: 77)
Pandangan ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengharamkan kenikmatan dunia, tetapi menekankan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai dengan menggabungkan kesenangan dunia dengan tujuan akhirat.
Kritik Islam terhadap Hedonisme
Hedonisme, yang berakar pada filosofi kenikmatan sebagai tujuan hidup, bertentangan dengan nilai-nilai Islam jika diterapkan secara berlebihan. Islam mengajarkan bahwa kenikmatan duniawi adalah nikmat yang harus disyukuri, tetapi tidak boleh menjadi obsesi. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT memperingatkan tentang bahaya sikap berlebihan (israf):
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا ٢٦ اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِۗ وَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا ٢٧…..
“...dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan...” (QS Al-Isra: 26-27)
Hedonisme yang berlebihan dapat menyebabkan seseorang lupa akan tanggung jawabnya kepada Allah dan masyarakat. Budaya konsumtif, misalnya, sering kali memicu ketidakpuasan karena kebahagiaan yang dicari melalui materi bersifat sementara. Rasulullah SAW bersabda:
لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ ، وَلَنْ يَمْلأَ فَاهُ إِلاَّ التُّرَاب
“Jika anak Adam memiliki satu lembah emas, ia akan menginginkan dua lembah. Tidak ada yang dapat memenuhi (keserakahan) perut anak Adam selain tanah...” (HR Bukhari dan Muslim)
Dampak negatif lain dari hedonisme adalah kehampaan spiritual. Ketika kebahagiaan hanya didasarkan pada kenikmatan duniawi, manusia cenderung kehilangan makna hidup yang lebih dalam. Dalam Islam, kenikmatan dunia harus digunakan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebagai tujuan akhir.
Islam dan Prinsip Minimalisme
Sebaliknya, minimalisme, yang menekankan kesederhanaan dan hidup dengan esensial, memiliki keselarasan dengan ajaran Islam. Prinsip hidup sederhana dan bersyukur (zuhud) merupakan salah satu ajaran inti Islam. Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam menjalani kehidupan yang sederhana. Beliau bersabda:
ﻟَﻴْﺲَ اﻟﻐﻨﻰ ﻋَﻦْ ﻛَﺜْﺮَﺓِ اﻟﻌَﺮَﺽِ، ﻭَﻟَﻜِﻦَّ اﻟﻐِﻨَﻰ ﻏِﻨَﻰ اﻟﻨَّﻔْﺲِ
“Kekayaan bukanlah banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kaya hati.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam mengajarkan bahwa harta benda hanyalah titipan dari Allah SWT. Oleh karena itu, manusia diwajibkan untuk mengelolanya dengan bijaksana, termasuk dengan berbagi kepada sesama melalui zakat dan sedekah. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا ٦٧
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir; dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS Al-Furqan: 67)
Namun, Islam tidak menganjurkan minimalisme ekstrem yang mengabaikan kebutuhan duniawi. Prinsip zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, melainkan menggunakan dunia sebagai sarana untuk meraih ridha Allah. Dengan hidup sederhana, seseorang dapat fokus pada hal-hal yang lebih penting, seperti ibadah, keluarga, dan kontribusi sosial.
Menemukan Jalan Tengah: Hidup Seimbang dalam Islam
Islam mengajarkan konsep wasathiyah (keseimbangan) sebagai solusi untuk mengatasi dilema antara hedonisme dan minimalisme. Dalam ajaran ini, manusia diajak untuk menikmati kehidupan duniawi secara wajar tanpa melupakan tujuan akhirat.
Menemukan jalan tengah berarti menikmati kenikmatan dunia tanpa terjebak dalam sikap berlebihan, sekaligus menjalani hidup sederhana tanpa kehilangan tujuan. Rasulullah SAW mencontohkan gaya hidup yang seimbang: beliau menikmati makanan yang halal, tetapi tidak pernah berlebihan; beliau memiliki harta, tetapi selalu berbagi dengan sesama.
Beberapa langkah praktis untuk menerapkan keseimbangan ini:
- Syukuri setiap nikmat yang Allah berikan. Dengan bersyukur, manusia akan merasa cukup dan terhindar dari sikap serakah.
- Kelola harta dengan bijaksana. Islam mengajarkan untuk menabung, berbagi, dan menghindari pemborosan.
- Fokus pada makna hidup. Daripada terobsesi pada materi, prioritaskan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah, seperti ibadah dan amal saleh.
Islam menawarkan pandangan yang unik dan holistik terhadap kebahagiaan, yang memadukan kenikmatan duniawi dengan nilai-nilai spiritual. Hedonisme dan minimalisme memiliki kelebihan masing-masing, tetapi keduanya harus dijalankan dalam koridor yang sesuai dengan syariat. Islam mendorong manusia untuk menikmati hidup tanpa melupakan tanggung jawab kepada Allah dan sesama.
Kebahagiaan sejati dalam Islam tidak ditemukan dalam berlebihan atau keterbatasan ekstrem, tetapi dalam keseimbangan antara dunia dan akhirat. Dengan hidup sesuai dengan prinsip wasathiyah, manusia dapat mencapai kebahagiaan yang berkelanjutan, baik di dunia maupun di akhirat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI