Jangan cari "puting payudara" di kamus. Tidak ada di KBBI.Â
Lho, memangnya harus cari di mana, Bro? Porno atau lucahkah? Hingga disensor dari KBBI?
Ufs, sebelum pembahasannya melenceng kemana-mana, mari simak dulu ceritanya.
Beberapa hari ini sering turun hujan deras di siang atau sore hari di kawasan Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi). Terkadang disertai angin kencang yang gerakannya memutar, sehingga pepohonan kerap tampak miring atau nyaris rebah. Orang-orang biasa menyebutnya angin "puting beliung".
Dalam kamus resmi bahasa Indonesia atau Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang versi daring resminya bisa ditengok di situs web kbbi.kemdikbud.go.id, "puting beliung" didefinisikan sebagai "udara yang bergerak dengan cepat dan bertekanan tinggi".
Namun jangan karena bentuk pusaran anginnya yang melingkar atau memutar lantas dikaitkan antara istilah "puting beliung" dengan nama organ tubuh pada manusia dan hewan yang punya kesamaan bentuk. Sebut saja, maaf, "puting", atau, dalam versi bahasa Inggris, nipple. Lazim juga, dalam obrolan keseharian, disebut "puting payudara".
Dalam KBBI sendiri, tidak ditemukan lema "puting payudara". Karena ternyata itu bentuk nonformal atau tidak baku, yang baku adalah "puting susu". Jadi, jangan coba-coba mencari "puting payudara" dalam kamus. Percuma!
Kata "puting" sendiri (jika tidak diikuti dengan "susu") dalam KBBI tidak terkait dengan nama organ tubuh makhluk menyusui tersebut.
Justru salah satu pengertian "puting" adalah "kelentit" ("klitoris", bahasa ilmiahnya), yakni nama bagian kemaluan perempuan. Dalam bahasa lain, "itil" (Betawi), "puki" (Maluku), atau "pepek" (Palembang).Â
Entahlah dari bahasa daerah mana Tim Penyusun KBBI memperoleh nama "puting" yang berarti "kelentit" atau "klitoris", karena tidak disebutkan etimologi dalam entrinya.
Tapi tidak usahlah berputing-puting berpusing-pusing karena KBBI kabarnya terbuka untuk pertanyaan, masukan atau koreksi, yang dapat diajukan via situs web KBBI Daring dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang beralamat di www.kbbi.kemendikbud.go.id.
Hikmahnya, tidak selalu apa yang biasa dipahami masyarakat atau publik yang benar, sebab secara leksikal (makna kamus), bisa jadi itu salah atau setidaknya tidak resmi atau baku, kendati populer.Â
Di sisi lain, pihak penyusun KBBI juga perlu mem(p)erhatikan dinamika kebahasaan masyarakat dengan lebih arif dan bijaksana sehingga tidak terdapat kesenjangan yang signifikan antara pekamus dan masyarakat pengguna kamus.
Bagaimanapun juga bahasa itu hidup dan berkembang dalam masyarakat, dan alangkah eloknya apabila kamus yang sejatinya adalah rekaman atau produk catatan masyarakat tidak berjalan menentang sifat kealamiahan tersebut.
Tinggal nanti yang menjadi pekerjaan besar (dan juga pertanyaan di kalangan para praktisi dan ahli bahasa) adalah apakah dan bagaimana orientasi KBBI ke depan, lebih bersifat preskriptif (baca: buku panduan) atau deskriptif (baca: pencatat kata-kata populer dalam masyarakat)?
Quo vadis, KBBI?
Atau dalam dialek Anak Jaksel (Jakarta Selatan) yang tren saat ini, "Mau dibawa kemana KBBI kita?"
Jakarta, 30 Maret 2022
Bacaan Lain:
2. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/6233bae0bb44863064529432/penumpang-versus-sewa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H