Pada akhirnya kita yang perlu dikasihani karena ketidakbersatuan kita alih-alih merengek dan mengutuki perlakuan mereka.
Saat satu telunjuk kita menuding mereka, empat jari lainnya mengarah pada diri kita sendiri, pertanda lebih banyak kesalahan dalam diri kita sendiri.
Aspek lainnya yang patut ditengok adalah rekam jejak seorang Vladimir Putin.
Karena Vladimir Putin (seorang mantan agen rahasia dinas intelijen KGB Uni Soviet yang telah banyak membantai para pejuang Islam di Chechnya dan Daghestan serta rakyat Muslim di kantong-kantong Muslim semasa era kejayaan Republik Sosialis Uni Soviet) sejak dahulu terobsesi menyatukan seluruh wilayah bekas Uni Soviet. Termasuk juga menguasai Chechnya, yang pemimpinnya kini, Aslan Maskhadov, berasal dari kubu pro-Rusia (yang membelot dari gerakan perjuangan Islam yang dipimpin Presiden Chechnya pertama, Asy-Syahid Zhokar Dudayev, dan sang panglima perang, Shamil Basayev), dan sisa-sisa gerilyawan Islam Chechen berjuang secara klandestin dalam bayang-bayang label "teroris" dan "separatis" dari rezim Putin.
Di samping itu, militer Rusia di bawah komando Putin juga aktif membantu rezim diktator Syiah Bashar Assad di Suriah menumpas perlawanan pejuang Islam Sunni (Aswaja) yang menyuarakan aspirasi Muslim Sunni yang puluhan tahun tertindas di bawah kekuasaan Presiden Bashar Assad (yang menggantikan ayahnya, Hafez Assad).Â
Jangan sampai kita sebagai Muslim bersorak-sorai mendukung Putin yang kini mengagresi Ukraina. Namun kelak kita menangis karena Rusia juga mengagresi negara-negara Muslim bekas Uni Soviet seperti Azerbaijan, Kazakhstan, Kirgiztan, Turkmenistan, Tajikistan dan Uzbekistan, dan menumpahkan darah saudara-saudara seagama kita.
Dalam konteks geopolitik luar negeri Indonesia, ancaman itu makin nyata karena Republik Rakyat China (RRC) yang notabene negara Komunis cenderung mendukung Rusia yang juga berideologi Komunis.Â
Setidaknya hal itu ditunjukkan RRC dengan menolak mendukung Resolusi PBB yang mengutuk agresi Rusia terhadap Ukraina (dan Indonesia awalnya tampak cenderung mengekor RRC dalam voting Resolusi tersebut) dan juga menolak menyebut serangan militer Rusia tersebut sebagai "invasi".
Andai para bapak bangsa (founding father) Indonesia masih hidup, tentu sikap mereka akan lebih tegas: Kutuk agresi Rusia terhadap Ukraina, terus dukung perjuangan Palestina untuk bebas dari penjajahan Zionis Israel, waspadai aliansi komunis global dan juga pasang radar untuk intrik politik tiga pemain utama global dunia saat ini yakni Amerika Serikat, Rusia dan RRC.
Dengan sikap politik bebas aktif Indonesia yang dilukiskan Bung Hatta sebagai "lincah bersampan di antara karang", politik luar negeri Indonesia tentu tidak mesti menjadi bebek dari para adikuasa global atau malah kebingungan sendiri sehingga tenggelam karena kepandiran dan belitan utang luar negeri.
Sayangnya Bung Hatta telah tiada, para bapak bangsa juga telah lama berpulang. Tinggal kita, anak bangsa, yang laksana anak ayam kehilangan induk dan sibuk berjuang sendiri-sendiri di tengah kepungan predator musang dan serigala.