Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menulislah Seikhlas Buang Hajat

29 Maret 2021   05:15 Diperbarui: 29 Maret 2021   05:24 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kyai Haji Abdullah Syafi'i/Foto: https://nasional.sindonews.com/

Kenapa harus takut gagal menulis?

Banyak penulis, terutama penulis pemula, yang terperangkap dalam writer's block (kebuntuan menulis) dikarenakan bayangan ketakutan akan kegagalan menulis. Salah satunya karena harapan atau ekspektasi yang berlebih untuk menghasilkan suatu karya yang baik atau diminati pembaca.

Padahal, menurut John Gardner dalam bukunya yang berjudul On Becoming A Novelist (1999), "Lebih banyak pelaku bisnis yang gagal daripada seniman yang gagal." 

Dan, suka atau tidak suka, mau tidak mau, penulis adalah bagian dari barisan seniman itu, seniman kata-kata.

Jika ditilik secara psikologis, segalanya terpulang kepada niat awal yang dipancangkan. 

Apa pun perbuatan kita tentu ada niat atau motivasi yang melandasi. Termasuk ketika kita menulis. 

Ibarat komputer, inilah software atau perangkat lunak dalam diri kita yang harus ditata terlebih dahulu sebelum berkutat dengan segala detail teknis penulisan seperti ide, plot atau ending (akhir cerita atau tulisan). 

Patut kita bertanya kepada diri kita sendiri: Untuk apakah kita menulis? 

Uang? Ideologi? Terapi penyembuhan diri (trauma healing)? 

Dalam konteks trauma healing, kita dapat merujuk pada Paulo Coelho yang dalam novel The Al Chemist (1988) menyarankan agar kita menuliskan segala kesedihan atau perasaan yang mengganggu dalam selembar kertas dan melarungkannya ke sungai. Niscaya kesedihan atau kekhawatiran akan sirna.

Dalam bukunya yang lain, The Art of Fiction (1983), John Gardner mengatakan,"Kebanyakan orang yang saya ketahui ingin menjadi pengarang, dengan mengetahui apa artinya hal itu, akhirnya menjadi pengarang. Hal yang perlu dimiliki oleh para pengarang pemula adalah memahami dengan jelas apa yang sebenarnya mereka inginkan dan apa yang harus mereka lakukan untuk bisa menjadi orang yang mereka inginkan itu."

Helvy Tiana Rosa (kiri) bersama ibunda (Maria Eri Susianti) dan sang adik (Asma Nadia) yang juga penulis/Foto: sastrahelvy.com
Helvy Tiana Rosa (kiri) bersama ibunda (Maria Eri Susianti) dan sang adik (Asma Nadia) yang juga penulis/Foto: sastrahelvy.com

Menulislah, pesan Helvy Tiana Rosa (HTR), sastrawan angkatan 2000 versi Korie Layun Rampan dan peraih penghargaan Adikarya IKAPI sekaligus pendiri Forum Lingkar Pena (FLP), karena selain baik bagi kesehatan mental dan menghasilkan uang, menulis juga memungkinkan kita saling memperkaya ide, berbagi rasa dan pengalaman serta mengeksplorasi langit imajinasi tanpa batas.

Lalu, salahkah jika kita ingin menulis semata-mata karena uang? 

Bukankah William Shakespeare juga mulai menulis karena keterpepetan ekonomi? 

Sah-sah saja tentunya. Namun sudah siapkah kita dengan segudang kesabaran dan kekuatan hati atas segala penolakan terhadap karya kita? 

Umumnya seiring ekspektasi berlebih, karena memang terkait dengan kebutuhan perut, penolakan pun kadang berlebih sesuai kadar ekspektasi tersebut.

Kawan-kawan penulis, yang banyak saya temui, yang termotivasi menulis semata-mata karena materi umumnya banyak yang mutung, tidak lagi menulis setelah berbagai penolakan. 

Jika tidak, mereka meracau merutuki nasib atau bahkan menyalahkan orang lain terutama penerbit dan media. Mereka sibuk menuding kesana-kemari kecuali kepada diri sendiri. 

Mereka lupa, sebagaimana wejangan Eka Budianta, sang penyair Nusantara seangkatan Rendra, bahwa menulis adalah memberi.

Dalam logika bisnis yang terkadang turut mengikat aktivitas menulis, menjual, termasuk 'menjual' tulisan, adalah melayani dan memberi. 

Keikhlasan melayani atau memberi terhadap kebutuhan konsumen justru akan menimbulkan market demand (permintaan pasar) dalam bentuk repeat order (order atau pesanan yang berulang). Dan kelimpahan materi secara sosial dan finansial adalah efek sampingnya. Inilah sisi lain yang kerap diabaikan para penulis yang bermotivasi menulis semata-mata karena materi.

Prof. Dr. Kuntowijoyo, sastrawan dan sejarahwan Indonesia/Foto: tirto.id
Prof. Dr. Kuntowijoyo, sastrawan dan sejarahwan Indonesia/Foto: tirto.id

Jadi, menulislah tanpa beban, ujar Kuntowijoyo, salah seorang sastrawan favorit saya, dan hanya ada tiga cara untuk menjadi penulis, yaitu dengan menulis, menulis dan menulis. 

Maka, Sobat, menulislah seikhlas engkau buang hajat atau meludah.

 Toh Joanne Rowling (J.K. Rowling) yang awalnya seorang janda dan guru miskin di Inggris pun tidak pernah bermimpi jika Harry Potter akan mendunia dan mendatangkan pundi-pundi dolar baginya. Padahal semula ia yang memang senang menulis hanya ingin menuliskan khayalan masa kecilnya. 

Kyai Haji Abdullah Syafi'i/Foto: https://nasional.sindonews.com/
Kyai Haji Abdullah Syafi'i/Foto: https://nasional.sindonews.com/

Inilah yang diistilahkan oleh almarhum K.H. Abdullah Syafi'i, seorang ulama kharismatik Betawi di era 80-an sebagai "nanem padi rumput ngikut; nanem rumput padi luput." 

Tujuan besar yang lebih dari "sekadar" materi akan menuntun kita pada tujuan sampingan seperti materi dan popularitas.

Kutipan perkataan John Gardner di awal tulisan ini pun sebenarnya tidak terhenti di situ saja. Ada kalimat pamungkas yang menjadi kuncinya, yakni, "Walaupun demikian, dalam sekolah bisnis, optimismelah yang selalu berjaya." 

Ya, optimisme, selain motivasi, yang juga membedakan ketangguhan seseorang, termasuk seorang penulis. 

Bukankah gagal itu biasa dan bangkit dari kegagalan itu baru luar biasa?

Jakarta, jelang Ramadhan

Artikel-artikel lainnya:

1. wahai-penulis-ternakkan-idemu

2. belajar-memahami-ala-jenderal-nagabonar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun