Dalam bukunya yang lain, The Art of Fiction (1983), John Gardner mengatakan,"Kebanyakan orang yang saya ketahui ingin menjadi pengarang, dengan mengetahui apa artinya hal itu, akhirnya menjadi pengarang. Hal yang perlu dimiliki oleh para pengarang pemula adalah memahami dengan jelas apa yang sebenarnya mereka inginkan dan apa yang harus mereka lakukan untuk bisa menjadi orang yang mereka inginkan itu."
Menulislah, pesan Helvy Tiana Rosa (HTR), sastrawan angkatan 2000 versi Korie Layun Rampan dan peraih penghargaan Adikarya IKAPI sekaligus pendiri Forum Lingkar Pena (FLP), karena selain baik bagi kesehatan mental dan menghasilkan uang, menulis juga memungkinkan kita saling memperkaya ide, berbagi rasa dan pengalaman serta mengeksplorasi langit imajinasi tanpa batas.
Lalu, salahkah jika kita ingin menulis semata-mata karena uang?Â
Bukankah William Shakespeare juga mulai menulis karena keterpepetan ekonomi?Â
Sah-sah saja tentunya. Namun sudah siapkah kita dengan segudang kesabaran dan kekuatan hati atas segala penolakan terhadap karya kita?Â
Umumnya seiring ekspektasi berlebih, karena memang terkait dengan kebutuhan perut, penolakan pun kadang berlebih sesuai kadar ekspektasi tersebut.
Kawan-kawan penulis, yang banyak saya temui, yang termotivasi menulis semata-mata karena materi umumnya banyak yang mutung, tidak lagi menulis setelah berbagai penolakan.Â
Jika tidak, mereka meracau merutuki nasib atau bahkan menyalahkan orang lain terutama penerbit dan media. Mereka sibuk menuding kesana-kemari kecuali kepada diri sendiri.Â
Mereka lupa, sebagaimana wejangan Eka Budianta, sang penyair Nusantara seangkatan Rendra, bahwa menulis adalah memberi.
Dalam logika bisnis yang terkadang turut mengikat aktivitas menulis, menjual, termasuk 'menjual' tulisan, adalah melayani dan memberi.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!