Banjir di awal 2021 mengingatkanku akan nostalgia banjir bandang di Jakarta yang pernah kualami pada 2007. Empat belas tahun silam. Hampir 1,5 dekade yang lampau.
Banjir bandang yang merendam 70 persen wilayah Jakarta pada awal Februari 2007 itu menyisakan duka dan derita bagi warga terdampak banjir.Â
Harta benda hancur bahkan korban nyawa melayang. Perekonomian pun terpukul mundur dalam hitungan hari. Kadang mengenangnya kembali hanya meruapkan sedih dan kecewa.Â
Tapi Tuhan Maha Penyayang. Senantiasa ada kejadian jenaka di kala duka. Setidaknya sebagai penghibur dan pelipur lara bagi warga terdampak banjir.
Sewaktu banjir mulai merendam pemukiman rumah orang tuaku di Pengadegan Timur, Pancoran, Jakarta Selatan, warga di lingkungan rumahku sudah bersiap-siaga mengevakuasi barang dan surat-surat berharga. Hilir-mudik orang bergegas mengangkut kulkas, TV, lemari atau perabotan lainnya ke tempat yang lebih tinggi.Â
Salah satunya ke kantor kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, yang bersebelahan dengan kompleks kampus sebuah universitas swasta.Â
Kedua tempat tersebut yang terletak di ujung tanjakan, setiap kali banjir lima tahunan, tidak pernah absen disinggahi sebagai tempat pengungsian sementara.
Akses utama dari pemukiman kami menuju kedua tempat tersebut adalah pertigaan Masjid Darul Mukhtar. Itu tempat terendah jika terjadi banjir sekaligus tempat bertemunya dua arus air, dari Kali Ciliwung dan anak sungai Ciliwung yang berpintu air di sebelah Barat.Â
Jadi, tak heran di sepanjang jalur tersebut mulai dari gerbang Masjid menuju ke arah tanjakan sejauh kurang lebih 200 meter dipasang tambang agar orang-orang yang hilir mudik terutama yang membawa barang dapat berpegangan dan tidak terhempas dihajar gelombang air. Airnya sangat dingin dan arusnya kencang.Â
Kakiku sendiri sempat kram ketika bolak-balik melintasi jalur itu untuk menengok rumah selama beberapa hari terendam air banjir.Â