Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Setop Bergosip, Mari Berdiskusi

16 Maret 2021   01:55 Diperbarui: 16 Maret 2021   02:06 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Great minds discuss ideas; average minds discuss events; small minds discuss people." (Eleanor Roosevelt)

Orang-orang berpikiran besar membahas gagasan; yang rata-rata saja membahas peristiwa, sementara yang berpikir sempit atau cupet sekadar membahas orang. 

Demikianlah makna kutipan perkataan bijak seorang First Lady (Ibu Negara) Amerika Serikat di era 1930-an, Eleanor Roosevelt. Ia adalah istri dari presiden Amerika Serikat F.D. Roosevelt yang menjabat empat periode sejak 1933 hingga 1945.

Kata mutiara itu mengingatku pada suatu diskusi berisi nan bermakna di suatu sore di awal 2000-an. Saat itu di atas sebuah bis kota yang mengantarkan kami sepulang berkunjung ke salah satu padepokan sastra di Banten.

Bis jurusan Merak-Pulogadung itu meluncur di jalan tol layang Tanjung Priok. 

Dari ketinggian tampak jelas langit Jakarta yang sore itu biru cerah. Ada jejak asap di sebelah barat. Sepertinya jejak asap pesawat jet. 

Dulu sewaktu kecil aku mengira itu kentutnya pesawat terbang. Ketika agak besar sedikit, aku mengira bahan bakarnya yang bocor. Aku tersenyum geli juga jika mengenang kepolosan masa kanak-kanak dulu.

"Wah, indah ya, Mas!" ujar seorang kawan yang duduk di seberang bangkuku. Kali ini bis antarkota ini tak begitu ramai. 

Suara sang kawan menyadarkanku yang tengah merenung. 

Dalam perjalanan aku gemar merenung, jika tidak membaca buku. Teman-temanku menyebutnya 'bengong'. Entahlah, meski sepintas sama, sebetulnya keduanya punya makna yang berbeda secara signifikan.

"Apa, Mbak?" Aku masih belum ngeh dengan maksudnya. Pikiranku sedang melayang entah kemana. 

Hari itu kami bersebelas menumpang bis dari sebuah acara kunjungan di luar kota. Tepatnya menghadiri diskusi bersama seorang tokoh penulis nasional untuk studi banding Pondok Baca yang akan kami dirikan.

"Itu...jejak asap pesawat itu!" sang kawan yang akrab kupanggil 'Mbak' mengarahkan telunjuknya ke arah Barat. "Indah ya?"

Aku mengarahkan pandangan ke arah telunjuknya mengarah. 

Ya, jejak asap putih memanjang ratusan meter seakan ekor ular yang panjang yang hendak merayap naik ke langit. Subhanallah. Pemandangan sederhana yang sebenarnya cukup menggetarkan hati.

"Tapi aku jadi ngeri, Mas," kata si Mbak lagi. 

Ngeri? Apakah ia alergi asap? Atau fobia ketinggian? terkaku bertubi-tubi dalam benak.

Kawan satu organisasi ini lantas bercerita pengalamannya naik pesawat terbang dari Solo ke Jakarta. 

Betapa ketika itu ia menangis dan berdoa sekuat-kuatnya tiapkali pesawat lepas landas dan juga saat mendarat. 

Betapa ia sangat takut nyawanya akan dicabut seketika dan sewaktu-waktu. 

Betapa ia tak ingin menjemput kematian dalam kondisi seperti para penumpang salah satu maskapai penerbangan yang gugur di tengah laut dalam kecelakaan besar saat itu.

"Mbak takut ketinggian ya?" selaku di tengah ceritanya yang sangat dramatis. 

Kadang jika ia bercerita, aku seakan merasa hatiku sangat kotor. 

Betapa tidak. Hanya karena seorang kawan meminta maaf selepas perdebatan yang "lumrah" dalam sebuah organisasi, ia bisa menitikkan airmata. 

Ah, rasanya aku merasa hatiku ini terlalu batu. 

Apalagi jika ia bercerita betapa dalam sholat malamnya ia dapat lebih menangis tiap kali mengenang masa lalunya. 

Ia memang seorang mualaf, yang masuk Islam setelah lima tahun mempelajari berbagai agama di Indonesia lewat buku-buku dan diskusi intensif. Sampai saat diskusi sore itu ia masih merahasiakan agama barunya karena tekanan keluarga besarnya. Sungguh suatu pengembaraan rohani yang panjang dan tak ringan.

Ia tersenyum malu. "Iya, aku takut ketinggian, Mas." 

Wajahnya tersipu memerah. Persis seperti sewarna lembayung senja di ufuk barat. 

"Tapi aku malah bersyukur. Coba kalau aku tak fobia ketinggian barangkali aku jadi lupa berzikir dan malah asyik ngobrol. Lupa dengan Allah. Jika pesawat itu jatuh, gimana? Iya kan?"

Aku tertegun. Benar juga, pikirku. 

Kadang pada apa yang kita takutkan kita justru menemukan apa yang kita cari. Ketika kita dihadapkan dalam kondisi sulit, kita tak dapat lantas menyalahkan Tuhan. Karena Tuhan bisa jadi punya rencana terbaik buat kita yang jalannya memang harus melalui sesuatu yang kita anggap buruk itu.

Aku jadi teringat sebuah cerita yang pernah aku baca semasa SMP.

Alkisah, ada dua orang dihadapkan dengan malaikat. Keduanya akan diputuskan apakah masuk surga atau neraka. Salah satunya adalah seorang pemuka agama. Yang lain seorang pencuri kelas teri.

Malaikat itu menatap keduanya tajam. 

Sang pemuka agama tersenyum bungah, yakin ia bakal masuk surga. Si pencuri gemetar kedinginan. Ia sudah membayangkan akan seperti apa daging tubuhnya digarang dalam panasnya neraka.

"Kau!" ujar Malaikat menunjuk Pemuka Agama dengan kasar. "Masuk neraka!" 

Sang Pemuka Agama terkaget-kaget.

Si pencuri tambah pias mukanya. 

Sang Pemuka Agama saja yang tiap hari berkhotbah kebaikan malah masuk neraka bagaimana dengan dirinya? 

Tubuhnya kian menggeletar ketakutan. Nyalinya ciut seciut-ciutnya.

"Kau, silakan masuk surga!" Malaikat menyilakan ia memasuki surga dengan pandangan ramah dan suara lembut.

Sang Pemuka Agama protes.Si pencuri pun sudah pasrah jika keputusan tadi dianulir.

"Kau tahu kenapa engkau masuk neraka?" tanya Malaikat kepada Pemuka Agama.

"Tidak. Justru itu saya protes. Setiap hari saya berkhotbah mengajak orang ke jalan kebaikan. Kenapa malah saya yang masuk neraka? Bukan si pencuri tengik yang keberadaannya meresahkan masyarakat?!"protes sang Pemuka Agama.

"Tapi ketika kau berkhotbah, engkau melakukannya dengan pamrih dan ingin dipuji. Lagipula ketika kau berkhotbah, orang-orang malah bosan mendengarnya bahkan tertidur sehingga mereka lupa mengingat Tuhan," tegas Malaikat. 

"Tapi si pencuri ini mencuri dengan penuh ketakutan. Ia tak bakal mencuri jika ia punya cukup uang untuk makan atau ada yang berbelas kasihan kepadanya. Lagipula karena keberadaannya orang-orang jadi terjaga di tengah malam dan selalu menyebut nama Tuhan."

Paradoks dan ironis bukan? Itu sejatinya sebuah kisah fiksi. Namun, bagiku, maknanya teramat dalam. 

Kumcer
Kumcer "Robohnya Surau Kami" karya A. A Navis/Sumber: goodreads.com

Sama menggetarkannya seperti ketika aku membaca cerpen legendaris Robohnya Surau Kami karya AA Navis yang dengan gaya ironi melukiskan seorang marbot atau penjaga masjid ("Garin"  dalam bahasa Minang) yang giat beribadah namun mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. 

Sang Garin yang merasa dijamin masuk surga karena aktivitasnya di 'rumah Tuhan' merasa tergedor ketika salah seorang tetangganya, Ajo Sidi, menceritakan mimpinya bahwa banyak orang Indonesia yang taat beribadah namun kelak justru masuk neraka karena Tuhan menganggap mereka hanya sibuk beribadah dan malas bekerja sehingga Indonesia menjadi negara miskin.

Cerpen yang dipublikasikan pada 1950-an itu sendiri awalnya digugat banyak orang yang merasa persepsi keberagamaannya terusik. 

Namun pada akhirnya mereka pun menyadari bahwa ironi yang disajikan AA Navis itu memang benar adanya. 

Beribadah sejatinya bukan hanya dalam bentuk ritual sholat, kebaktian atau sembahyang di pura tapi juga dalam amal karya nyata di masyarakat.

Ah, menyingkap makna kehidupan di balik kejadian memang bukan pekerjaan mudah. 

Hanya orang-orang yang punya kebeningan hati dan ketulusan yang dapat melihat makna yang tersimpan di balik segala sesuatu. 

Ketika musibah bertubi-tubi menimpa setiap orang dapat dengan mudah mengatakan, "pasti ada hikmahnya". Benar. 

Tapi seberapa banyak yang mampu dengan jujur mengambil hikmah apa yang tersembunyi itu? Dan tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama bodohnya seperti keledai?

Sore itu rasanya lelahku lenyap sirna, tak tersisa. 

Diskusi sore itu sungguh sebuah dialog kehidupan, dialog tentang makna hidup dan menghidupkan hati nurani. 

Bukankah Tuhan sudah menjamin bahwa hanya orang-orang yang beriman  (the true believers) yang dikaruniai basyiroh (inspirasi dan firasat) yang tajam dan kebeningan hati akan makna kehidupan? 

Sebuah karunia yang tidak mendadak turun bak hujan dari langit namun yang diperoleh lewat olah rasa dan kejujuran dalam memaknai setiap kejadian dalam hidup.

Dan salah satu jalan memetik hikmah kehidupan tersebut adalah melalui diskusi kehidupan yang mendalam, yang tak sekadar membahas peristiwa atau orang semata. 

Terlebih lagi jika hanya berkutat bergosip berita infotainment sekalipun resmi ditayangkan langsung di TV nasional selama hampir setengah hari. Yang isinya melulu berita pernikahan mewah selebritas, artis pacaran atau selingkuh dan hobi belanja para pesohor dan sejenisnya.

Yuk, setop bergosip, mari berdiskusi. Otak dan jiwa kita niscaya membutuhkan itu, bahkan mungkin sangat lapar akan hal itu.

Jakarta, jelang Ramadhan

Baca Juga:

1. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/604524958ede48054d16dae2/belajar-memahami-ala-jenderal-nagabonar

2. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/604839fcd541df2cff3939e2/drama-layanglayang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun