"Mbak takut ketinggian ya?" selaku di tengah ceritanya yang sangat dramatis.Â
Kadang jika ia bercerita, aku seakan merasa hatiku sangat kotor.Â
Betapa tidak. Hanya karena seorang kawan meminta maaf selepas perdebatan yang "lumrah" dalam sebuah organisasi, ia bisa menitikkan airmata.Â
Ah, rasanya aku merasa hatiku ini terlalu batu.Â
Apalagi jika ia bercerita betapa dalam sholat malamnya ia dapat lebih menangis tiap kali mengenang masa lalunya.Â
Ia memang seorang mualaf, yang masuk Islam setelah lima tahun mempelajari berbagai agama di Indonesia lewat buku-buku dan diskusi intensif. Sampai saat diskusi sore itu ia masih merahasiakan agama barunya karena tekanan keluarga besarnya. Sungguh suatu pengembaraan rohani yang panjang dan tak ringan.
Ia tersenyum malu. "Iya, aku takut ketinggian, Mas."Â
Wajahnya tersipu memerah. Persis seperti sewarna lembayung senja di ufuk barat.Â
"Tapi aku malah bersyukur. Coba kalau aku tak fobia ketinggian barangkali aku jadi lupa berzikir dan malah asyik ngobrol. Lupa dengan Allah. Jika pesawat itu jatuh, gimana? Iya kan?"
Aku tertegun. Benar juga, pikirku.Â
Kadang pada apa yang kita takutkan kita justru menemukan apa yang kita cari. Ketika kita dihadapkan dalam kondisi sulit, kita tak dapat lantas menyalahkan Tuhan. Karena Tuhan bisa jadi punya rencana terbaik buat kita yang jalannya memang harus melalui sesuatu yang kita anggap buruk itu.