Malah ibu yang justru yakin dengan kemampuanku.Â
Alhasil, mungkin juga karena doa kaum ibu yang konon makbul, aku berhasil lulus dengan nilai cukup baik.Â
Terima kasih, Ibu. Engkau ternyata lebih memahamiku lebih daripada aku memahami diriku sendiri.
Ah, mengerti dan memahami sungguh menarik ditelusuri.Â
Seperti logika Jenderal Nagabonar, sang janda tua yang luar biasa dan juga ibundaku yang telah tiada, bahwa "memahami "bersumber dari cinta dan tanggung jawab.Â
Tak perlulah bergelar doktor atau jumpalitan pencitraan turba atau blusukan untuk sekadar memahami derita rakyat yang terhimpit beban ganda krisis ekonomi dan krisis pandemi kesehatan saat ini.
Cukuplah pahami derita rakyat dari suara yang kadang hanya tersalurkan di media sosial, yang itu pun kerap kali dibungkam, entah dengan regulasi atau dengan sengatan para pendengung (buzzer) profesional.Â
Kita hanya perlu mendengar dengan tulus jerit lapar anak-anak malnutrisi, atau tulus berempati kepada keluarga-keluarga yang berantakan karena orangtua saling bercerai atau justru berbunuhan karena perkara ekonomi yang kian menjepit di tengah pandemi yang tak kunjung berakhir.
Seorang kawan bilang,"Hanya perempuan yang bisa memahami."Â
Sejenak aku tercenung.
Sebagaimana perkataan orang bijak,"Behind great men there are great women."Â