Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Sudahkah Tulisanmu Mempunyai Ruh?

23 Februari 2021   10:49 Diperbarui: 23 Februari 2021   16:04 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Setiap huruf mempunyai ruh, mempunyai nyawa, dan memilih kehidupannya sendiri." (Leila S. Chudori, sastrawan dan jurnalis)

Yuk, kita bicara soal dua karya sastra yang pernah masyhur di Indonesia. Yakni novel Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi.

Kover novel Ayat-Ayat Cinta/Foto: wikipedia.org
Kover novel Ayat-Ayat Cinta/Foto: wikipedia.org

Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy konon dicetak ulang hingga lebih tiga puluh kali sejak pertama kali terbit pada 2004. 

Di layar lebar, filmnya, meski banyak dinilai tak sesuai dengan isi novelnya, yang digarap sutradara kondang Hanung Bramantyo sukses memikat sekitar tiga juta orang untuk datang menonton ke bioskop. Belum terhitung yang membeli DVD bajakannya. 

Kover novel Laskar Pelangi/Foto: gramedia.com
Kover novel Laskar Pelangi/Foto: gramedia.com

Sementara Laskar Pelangi karya Andrea Hirata juga tidak kalah masyhur. 

Selain digadang-gadang sebagai buku best-seller nasional, juga dielu-elukan sebagai The Indonesia's Most Powerful Book.  

Di layar kaca, Laskar Pelangi juga difilmkan (selanjutnya diikuti beberapa sekuelnya) dengan arahan Riri Riza. Sebuah catatan fenomenal mengingat kedua novel itu notabene karya perdana kedua penulis muda tersebut.

Lebih mengagumkan lagi, Laskar Pelangi ditulis oleh Andrea Hirata yang belum pernah membuat sepotong cerpen pun. 

Tak hanya itu, pemuda asli Belitong yang alumnus S-2 Prancis ini juga melengkapinya dengan tiga novel lain yakni Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov, yang secara keseluruhan merupakan Tetralogi Laskar Pelangi. 

Di sisi lain, Habiburrahman yang santri Al-Azhar Kairo kelahiran Semarang juga membawa gerbong Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2, Pudarnya Cinta Cleopatra, Di Bawah Mihrab Cinta dan beberapa karya best-seller lainnya yang juga bernafaskan religi romantis.

Namun tidak ada karya manusia sesempurna kitab suci. 

Banyak kritik yang datang untuk kedua karya tersebut. 

Mulai dari tudingan mengeksploitasi cinta atau poligami, seperti yang terkesan ditonjolkan dalam film Ayat-Ayat Cinta, hingga cibiran untuk Laskar Pelangi bahwa keberhasilannya semata-mata karena trik pemasaran yang canggih. 

Kita pun mafhum bahwa keduanya bukanlah kitab suci yang agung dan tanpa cela. Namun kritik yang tidak proporsional juga ibarat racun yang dapat melemahkan si orang sehat.

Dalam hal ini berlaku kebenaran pepatah "makin tinggi pohon makin kencang angin menerpa". Inilah keniscayaan hukum alam yang diguratkan Tuhan. 

Karya sastra sekaliber roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck-nya Buya Hamka atau Belenggu gubahan Armin Pane pada zamannya juga dicap picisan, cabul dan cengeng. Tetapi perjalanan waktulah yang menggosok intan agar cemerlang cahaya yang memancar.

Terlepas dari segala kontroversi yang ada, dengan arif, layak kita bertanya mengapa kedua novel karya dua penulis usia 30-an tersebut di kala itu mampu mengharubiru jagad sastra sekaligus merambah ranah populer publik negeri ini?

Sekian banyak orang bersaksi bahwa Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi mengubah hidup mereka lebih tenang, hidup dan berkarya lebih baik. 

Telah banyak karya-karya besar yang membawa perubahan di dunia.

Sebut saja novel Uncle Tom's Cabin buah karya Harriet Beecher Stowe (1852) yang menginspirasi semangat perubahan terhadap perlakuan rasialis kaum kulit putih terhadap kulit hitam atau berwarna di Amerika Serikat.

Nah, seperti halnya karya-karya besar terdahulu, Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi, terlepas dari apa pun penilaiannya, mengandung ruh tulisan yang kuat yang mampu menyentuh hati dan menggerakkan pembacanya. 

Sesuatu yang datang dari hati niscaya sampai ke hati.

Ruh, jiwa atau soul sebuah tulisan adalah hasil internalisasi visi, emosi, dedikasi, pengalaman, logika, wawasan, elan vital (semangat) kontemplasi dan keterampilan teknis seorang penulis. 

Porsi keterampilan teknis barangkali hanya sekian persen. Karena unsur-unsur lain yang lebih condong mengetuk perasaan atau kalbu justru bisa jadi lebih dominan.

Di samping juga kedua novel tersebut memenuhi syarat-syarat ketertarikan pembaca dengan sebuah tulisan: novelty (kebaruan, misalnya tema yang baru dan berbeda dari mainstream), similarity (kemiripan dengan keseharian hidup mayoritas pembaca), dan visionary (memiliki pandangan jauh ke depan).

Sesungguhnya ruh sebuah tulisan adalah virus yang menular. 

Ia seperti energi, dalam hukum Kekekalan Energi Newton, yang tidak dapat musnah namun berubah bentuk. 

Energi dari sebuah tulisan karena pancaran energi cita-cita atau semangat sang penulis yang terejawantahkan melalui kata sampailah ke pembaca dalam bentuk inspirasi. 

Terciptalah keajaiban-keajaiban di kala itu. 

Sebut saja antara lain histeria gadis-gadis muda untuk berfoto bersama Kang Abik (panggilan populer Habiburrahman El- Shirazy) dan berbagai testimoni tentang peningkatan iman para pembaca Muslim. 

Demikian juga pertobatan seorang pecandu narkoba setelah membaca karya Andrea Hirata. Merekalah yang hati-hatinya telah tersentuh, tercerahkan.

Hati nurani, demikian nama lengkap hati, menurut Nurcholish Madjid, berasal dari kata bahasa Arab, nur  yang artinya "cahaya". 

Hati adalah tempat cahaya bersemayam, yang menerangi kegelapan logika. Sementara ilmu adalah cahaya, yang sejatinya berjodoh di hati. Jika keduanya bercumbu itulah perkawinan kimiawi yang serasi.

Sementara itu, seseorang dapat menjadi aktivis Marxisme tulen setelah membaca Das Capital-nya Karl Marx. 

Barangkali dedikasi Marx selama setiap hari dalam 20 tahun berkutat di perpustakaan umum -- dengan biaya hidup disokong rekannya, Friedrich Engels -- untuk menyusun Das Capital menjadikan energi kemarahannya terhadap kapitalisme dan kemiskinan tersalurkan tuntas dan meradiasi sebagian pembacanya. 

Inilah yang harus diakui secara jujur tentang kebenaran makna pepatah bahasa Arab, man jadda wa jada, siapa berusaha keras maka ia akan memperoleh hasilnya. Siapa pun pelakunya.

Di ujung spektrum lain, banyak penulis menimba energi Ilahiah melalui olah kontemplasi kepada Tuhan, Zat Tertinggi, sang causa prima yang menggerakkan semesta sebagai sumber inspirasi. 

Para ulama Muslim, misalnya Sayyid Quthb, dengan mahakarya kitab tafsir Al-Qur'an Fi Zhilalil Qur'an, terbiasa melakukan sholat tahajud sebelum mulai menulis. 

Sementara Barbara Cartland, yang populer dengan novel-novel romantisnya, melakukan ritual berdandan sedemikian rupa sebelum menulis. Semata-mata demi memompa kepercayaan diri, menimba energi kepenulisan.

Maka, Sobat, punyailah visi ketika menulis, alirkan emosi dan semangat sejadi-jadinya, dan berjibakulah ketika melahirkan sebuah tulisan. 

Seperti jihad seorang ibu saat melahirkan anaknya. Karena kita adalah ibu dari 'anak-anak' tulisan kita. Bahkan kita adalah 'tuhan' atas segala tulisan kita. 

Ingatlah, Tuhan tidak pernah lelah menciptakan semesta. Itulah energi Ilahiah atau profetik yang semestinya jadi sumur inspirasi sejati agar kita punya stamina dan nafas panjang dalam karier kepenulisan.

Karena apa pun caranya, menulis tidaklah beda dengan berolahraga. Ia butuh energi. 

Jika energi pendorong lemah alhasil yang lahir hanyalah tulisan yang alakadarnya, loyo, dan tidak punya ruh atau soul. 

Jika ia manusia, tulisan semacam itu hanyalah mayat, yang tidak bernyawa. Atau bahkan bangkai. 

Percayalah, seperti kata Dale Carnegie, no one kick the dead dog. Tidak ada yang peduli dengan bangkai. 

Sederet karya di atas dipuji sekaligus ada yang dicaci-maki karena mereka hidup, bernyawa.

Maka marilah kita bertanya kepada diri kita masing-masing: Sudahkah tulisan kita mempunyai ruh?

Jakarta, jelang Ramadhan

Baca Juga:
1. Gadis Manis di Kereta Waktu
2. Jika Kegagalan adalah Guru, Apakah Ia Guru yang Baik?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun