Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Bekerja Tidaklah Selalu Soal Uang

15 Februari 2021   15:45 Diperbarui: 15 Februari 2021   16:06 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resminya secara profesional saya sudah menggeluti profesi penerjemahan selama delapan belas tahun atau hampir dua dekade. 

Terhitung sejak 2003, saat pertama kali bekerja sebagai penerjemah purnawaktu (full-time) pada sebuah biro penerjemahan di bilangan Jakarta Selatan. Sebut saja biro penerjemahan itu B Trans. 

Itulah sebuah biro penerjemahan kecil di gang sempit dengan empat penerjemah purnawaktu (termasuk pemilik biro sendiri yang merupakan penerjemah tersumpah atau sworn translator) dan dua kurir.

Gaji pertama saya di situ Rp800 ribu per bulan. Hingga terakhir saat saya keluar dari B Trans pada 2005, total pendapatan saya dari gaji plus bonus (jika terjemahan saya mencapai batas minimal 300 halaman hasil per bulan) berkisar Rp2-3 juta per bulan.

Bagi saya yang masih bujang, jumlah sebesar itu sudah termasuk pendapatan yang lumayan. 

Lumayan berkecukupan. Karena saya bisa sering-sering traktir pacar nonton, jalan-jalan atau makan-makan, bantu biaya hidup keluarga saya termasuk beli buku-buku kesukaan saya dengan frekuensi yang cukup sering dalam satu bulan.

Setidaknya jumlah tersebut jauh lebih besar daripada honor saya dari pekerjaan sebelumnya sebagai pengajar kursus bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus di daerah Jakarta Timur pada kurun waktu 2000-2002. 

Honor mengajar yang hanya Rp8000 per sesi (1 sesi adalah 2 jam/kelas) dengan frekuensi mengajar yang tidak banyak (lembaga kursus itu tergolong lembaga gurem) membuat saya harus mencukupkan diri dengan kisaran gaji Rp300-400 ribu per bulan.

Untuk menambal biaya hidup, saya pun mengajar tambahan di sebuah lembaga kursus lain di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, di malam harinya. Total jenderal Rp700 ribu per bulan saya dapatkan dari kedua tempat kursus tersebut. 

Di samping itu saya juga kerap menerima job terjemahan dari seorang rekan staf administrasi di salah satu lembaga kursus tersebut. Maklum, sebagai lembaga kursus bahasa Inggris, banyak pihak luar yang meminta jasa penerjemahan. 

Yah, lumayanlah, bagi saya saat itu, honor Rp6000 per halaman sumber untuk menambah kocek. Sebagai penerjemah, itulah jatah bersih yang saya dapatlan setelah dibagi-bagi dengan sang rekan tersebut dan kawan resepsionis yang menerima job itu. Sama-sama untung, prinsipnya.

Nah, alhasil cukuplah beralasan ketika saya dipanggil bekerja di biro penerjemahan B Trans, saya memutuskan hengkang mengajar. It's all about money!

Namun ketika tiga tahun kemudian saya memutuskan mengundurkan diri dari biro tersebut, ternyata bukan uang lagi yang menjadi persoalan. 

Sebagai bujangan sederhana yang tidak bergaya hidup mewah, jumlah pendapatan yang saya terima saat itu sudah lumayan memadai. Meskipun, jujur, saat itu saya tidak punya tabungan banyak. Pola hidup saya yang boros saat itu tak sudi menyisakan banyak rupiah di rekening bank saya.

Lalu kenapa keluar?

Itu pertanyaan yang juga ditanyakan banyak orang terdekat saya saat itu. 

Karena selepas mengundurkan diri dari biro penerjemahan itu, pada 2005, saya justru memilih pindah ke sebuah griya produksi (production house) sinetron yang hanya memberi saya gaji Rp1,2 juta sebulan (bersih) sebagai penerjemah naskah skenario shift malam hari. 

Jawaban atas pertanyaan itu juga merupakan jawaban yang sama untuk pertanyaan kenapa saya hanya bertahan kurang dari satu semester di griya produksi sinetron ternama tersebut.

Saat gajian di bulan terakhir di biro penerjemahan tersebut, saya berkata sambil menyerahkan amplop gaji saya, "Nih gajimu, Lam. Udah enak tuh. Memangnya kamu kurang apa sih di sini?!"

Seminggu sebelumnya, karena gaji terlambat dua pekan dari jadwal semestinya, saya memang menghadap sang bos dan menyampaikan protes keras. Karena itu kejadian kedua kalinya dalam setahun terakhir.

Bos saya rupanya lupa bahwa manusia tidak sekadar butuh nasi atau roti. Ia juga butuh apresiasi. Dan bekerja tidaklah selalu soal uang atau finansial.

Darah muda saya menggelegak. 

Sebagai bos, kendati ia saya anggap sebagai mentor pertama saya, ia memang sering berlaku otoriter dan bermulut tajam. Tapi sekali itu pernyataannya terasa bak sembilu menusuk ulu hati. Esok harinya saya langsung mengajukan surat pengunduran diri.

Kesalahan serupa juga dilakukan atasan langsung saya di griya produksi sinetron yang memaki saya dengan ucapan "tak tahu diri" karena saya tidak bisa datang ke kantor karena sakit untuk sebuah tugas dadakan di hari kedua Lebaran. Rupanya ia menganggap gaji yang dibayarkan kantor untuk posisi saya sebagai penerjemah terlalu besar.

Boleh dibilang itulah pengalaman-pengalaman awal saya ketika secara profesional direndahkan dan hanya dihargai sebatas uang.

Abraham Harold Maslow (1954), seorang pakar psikologi terkemuka, dalam Teori Hierarki Kebutuhan (Hierarchy of Needs) mengatakan, "People's needs depend on what they already have. In a sense, then, a satisfied needs isn't a motivator. Human needs, organized in a hierarchy of importance, are physiological, safety, belongingness, esteem, and self actualization."

Dalam terjemahan bebasnya, teori itu berbunyi: "Kebutuhan orang tergantung pada apa yang telah mereka miliki. Dengan kata lain, kebutuhan yang terpenuhi bukanlah penggerak atau pendorong. Kebutuhan manusia, yang terlembagakan dalam sebuah hierarki tingkat kepentingan, adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan rasa memiliki, kebutuhan dihargai, dan kebutuhan aktualisasi diri."

Setelah beberapa tahun ke depan, saat menengok masa lalu, saya memaknai semua pengalaman pertama tersebut sebagai pengaya hidup dan rohani saya menjadi hidup yang komplet. 

Toh, saya sudah memaafkan mereka dan telah berdamai dengan diri saya sendiri dan juga masa lalu, dan justru mensyukurinya. Segala sesuatu pasti ada hikmahnya. 

Seperti kata Oprah Winfrey, "True forgiveness is when you can say 'thank you' for that experience."

Jagakarsa, 15 Februari 2021

Baca Juga: 

1. Jika Kegagalan adalah Guru, Apakah Ia Guru yang Baik?

2. [Tarhib Ramadhan] Ramadhan sebagai Madrasah Pengorbanan

3. Dilema Memilih Jodoh dan Karier

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun