Raja Tito tersenyum, memeluk puteranya seraya berbisik, "Sudahlah, sekarang cari saja."
"Tapi, Ayah..."
Namun Raja Tito segera memerintahkan mereka berangkat ke sungai kecil di belakang istana. Tak jauh jaraknya. Hanya lima menit berkuda.
Tibalah mereka di sebuah sungai kecil yang berair jernih. Namun arusnya deras. Di dasarnya yang dangkal banyak bertebaran batu-batu beraneka warna.
"Sekarang carilah mutiara itu!" perintah Raja Tito tegas. "Ini akan menjadi permainan yang mengasyikkan!"
Dengan enggan Pangeran Tori melangkah ke sungai. Terasa dingin air sungai di kakinya. Belum lagi arus yang deras membuatnya kerap terpeleset karena kehilangan keseimbangan.
Susah-payah ia berusaha bangkit dan mulai mencari mutiara. Diambilnya satu persatu batu-batu beraneka warna di dasar sungai dan diamatinya. Berkali-kali ia kecewa karena yang ditemuinya hanya batu biasa.
"Ah, sialan!"
Berkali-kali ia mengumpat dan memaki. Di tepi sungai, Raja Tito dan Penasihat Pinto mengamatinya.
Sejam waktu berlalu. Lelah Pangeran Tori mencari. Mulutnya pun lelah memaki. Ia beristirahat di atas sebuah batu besar di tengah sungai.
"Mutiara itu hanya dapat ditemukan jika kamu sabar dan tidak memaki atau mengumpat," terngiang pesan ayahnya.