Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hujan Cina Makan Sambal

5 Januari 2021   23:51 Diperbarui: 5 Januari 2021   23:58 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada istilah "ujan cina makan sambel" di kalangan masyarakat Betawi. Hal ini merujuk pada jenis hujan, baik gerimis maupun deras, yang turun namun tidak disertai mendung gelap dan matahari tetap bersinar terang. Biasanya saat hujan seperti ini muncul pelangi atau bianglala akibat pembiasan sinar matahari pada butiran-butiran air hujan yang jatuh ke bumi.

Karena kondisi terang itulah mungkin diibaratkan seperti terangnya kulit kalangan Cina atau Tionghoa, yang diibaratkan kepedesan makan sambal sehingga bercucuran air mata. Air mata itulah yang diibaratkan sebagai hujan.

Mengapa tidak disebut "ujan belande makan sambel" atau "menado makan sambel"? Mengapa harus "cina makan sambel"? Rasialiskah?

Remy Sylado dalam bukunya berjudul 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing (2003),  dengan nama pena Alif Danya Munsyi, menafikan tudingan rasialisme tersebut dalam khazanah metafora atau ungkapan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. 

Menurutnya, metafora seperti itu hanya merupakan cerminan keterbatasan kosakata masyarakat pengguna bahasa Melayu atau bahasa Indonesia untuk mengungkapkan kondisi sosial atau alam di sekitar mereka, tiada maksud penghinaan.

Kendati demikian, tak urung penggunaan istilah "cina" dalam metafora tersebut bagi sebagian kalangan berkonotasi negatif, yang mengingatkan sebagian kalangan Tionghoa akan era pemerintahan Orde Baru (Orba) yang represif terhadap kalangan minoritas tersebut.

Dan di akhir masa pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), mulai diintrodusir istilah "Tionghoa" untuk penyebutan penduduk dan produk atau hal-hal terkait Cina dan "Tiongkok" untuk nama negara Cina. Termasuk juga diafirmasi di era Jokowi.

Namun, kabarnya pemerintah Tiongkok sendiri lebih memilih sebutan "China"sebagaimana penulisan dalam bahasa Inggris. Jadi, tidak heran saat ini ada varian penulisan dan pelafalan untuk negara Asia Timur tersebut yakni Tiongkok, China,  dan Cina.

Lantas apa hubungan metafora "ujan cina makan sambel" dan kewaspadaan terhadap hujan?

Terlepas dari kontroversi penyebutan dan pelafalan tersebut, hujan sebagai suatu fenomena alam sejatinya bersifat universal yang menyatukan umat manusia di muka bumi. 

Kitalah, dengan berbagai dalil dan argumen, yang kadang menjadikannya sebagai sumber perdebatan atau pertengkaran, yang justru memecah belah soliditas kita dan mencederai eksistensi kita sebagai umat manusia di hamparan bumi yang sama.

Hujan laksana api punya filosofi yang sama. Saat kecil, ia kawan; saat ia besar, ia lawan. Itulah juga yang harus kita waspadai. 

Saat hanya berupa rinai (gerimis kecil) atau gerimis atau hujan lebat biasa, hujan itu sungguh bersahabat. Berbeda halnya jika berlebihan hingga menyebabkan banjir. 

Kendati sesungguhnya, juga bukan salah hujan yang turun. Sudah kodratnya ia turun sesuai siklusnya. Lingkungan alamlah yang rusak, di mana tempat turun alami sang hujan, yang kita konversi sebagai perumahan, pabrik atau perkantoran. 

Hujan akan turun menuju ke bawah. Jika tempatnya turun tidak ada, ia tetap akan turun dan berubah jadi genangan banjir atau genangan mengendap, dengan apa pun penyebutan atau definisi manusia atasnya.

"Panas setahun dihapus hujan sehari," demikian kata pepatah lawas dalam khazanah bahasa Indonesia. 

Itu pepatah yang mengajarkan kita bahwa segala sesuatu yang kadang berlangsung lama bisa saja terkikis habis atau terlupakan karena suatu sebab lain, kendati sebab atau penyebab itu sekejap saja atau kecil saja adanya.

Demikian juga kesadaran kita akan kebersihan dan lingkungan hidup, yang seringkali seperti halnya pepatah itu. Mendadak tingkat kesadaran kita anjlok setelah terhempas suatu masalah.  

Misalnya, kita yang tekun menjaga kebersihan lingkungan agar lingkungan kita tidak tergenang banjir saat musim hujan mendadak bermalas-malasan hanya karena sebab sepele, seperti tetangga selingkungan yang tidak solider untuk bekerja bakti bersama membersihkan got atau selokan yang mampet.

Jagakarsa, 5 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun