Wahai 2021, di awal pertemuan kita ini, izinkan aku bertanya kepadamu: Akan seperti apakah kamu?
Maaf, bukan hendak menyinggungmu sebagaimana kelakuan orang yang su'ul adab atau berakhlak lancang, namun aku trauma dengan pengalaman bersama saudara tuamu yang telah lewat, 2020.
Awalnya kami bersua dalam suasana gegap gempita, meriah suka cita. Terompet bersahut-sahutan, kembang api dan mercon berdentam-dentam di malam perjumpaan pertama kami. Namun, sebentar saja momen manis itu bersama. Tiga bulan kemudian pandemi COVID-19 melanda.
Lagipula, sebagai Muslim, aku selalu mengingat sabda Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wassalam (SAW) bahwa "Celakalah orang yang keadaannya hari ini lebih buruk daripada hari kemarin."
Dan, soal keadaan ke depan, aku selalu bercermin dari masa lalu. Alhasil, aku tidak setuju jika ada yang mengatakan, "Buanglah mantan pada tempatnya." Karena, bagaimanapun, mantan kekasih atau pasangan hidup adalah bagian dari masa lalu, tempat kita bercermin.
Ah, maaf, 2021, jika aku kelewat melantur. Bicara soal mantan memang sering bikin salah fokus, baik fokus pikiran maupun fokus pembicaraan.
Namun, senyampang kita berbicara tentang bercermin, aku teringat kelakar seorang kawan mengenai kiat agar cepat mendapatkan jodoh.
Dulu sang kawan bilang hanya perlu 3 B yakni Berusaha, Berdoa dan Bercermin alias ngaca, apakah wajah kita sudah cukup "layak" untuk menaksir sang calon pasangan hidup.
Tapi bukan sekadar itu.
Bukan juga cermin yang dimiliki sang ibu tiri Snow White, yang biasa kami sebut Putri Salju, yang selalu menyanjung-nyanjungnya ketika sang empu cermin mematut diri seraya bertanya, "Mirror..mirror on the wall, who's the prettiest of all?"
Cermin, siapakah yang paling cantik? Demikian ia bertanya.
Kendati pada akhirnya ketika si cermin berkata jujur bahwa Putri Salju adalah yang tercantik, nasib si cermin pun berakhir menjadi serpihan kaca. Mungkin dari legenda itulah asal-usul pepatah "buruk muka cermin dibelah".
Wahai 2021, aku kasih tahu ya. Bukan tahu goreng atau tahu bacem. Tapi sebuah filosofi tentang bercermin.
Bercermin dalam pengertian luas adalah bermuhasabah, introspeksi diri.
"Introspeksilah dirimu sebelum Tuhan menghitung amalmu (di hari akhir)," demikian bunyi hadis Nabi Muhammad SAW.
Bahkan sang Nabi nan mulia dan para sahabatnya ketika bertegur sapa tidak hanya sekadar berbasa-basi namun juga menanyakan apa yang sudah dilakukan pada hari itu. Sudah seberapa banyak ibadah dan seberapa melimpah karya yang dihasilkan.
Rasulullah juga menganjurkan umatnya untuk melakukan introspeksi harian dengan doa-doa Al Ma'tsurat atau zikir saban pagi dan sore hari.
Wahai 2021, akan seperti apakah kamu?
Maafkan jika aku lancang bertanya. Bukanlah karena aku genit atau posesif. Namun aku hanya ingin mengingatkan diriku sendiri dan orang-orang yang berkenan membaca surat ini.
Sudahkah hari ini kita berintrospeksi diri dan mengenali diri kita sendiri?
Apakah kita termasuk orang yang berpikiran positif alias berkonsep diri positif atau justru berkonsep diri negatif?
Barangkali kita menyangkalnya, namun perilaku kita justru membuktikan tipe seperti apa kita.
Menurut William D. Brooks dan Phillip Emmert (1976) yang dikutip Jalaluddin Rahmat dalam buku populernya berjudul Psikologi Komunikasi, ada lima tanda orang yang berkonsep diri negatif.
Pertama, ia peka terhadap kritik. Orang semacam ini sangat mudah marah akibat kritik yang diterimanya. Baginya koreksi atau kritik adalah upaya untuk menjatuhkan harga dirinya. Ia cenderung menghindari dialog terbuka dan bersikeras mempertahankan pendapat dengan berbagai justifikasi dan logika yang keliru.
Kedua, ia sangat responsif terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, antusiasmenya ketika menerima pujian tak dapat disembunyikan. Buatnya, segala macam embel-embel yang menunjang harga diri menjadi pusat perhatiannya.
Ketiga, sebangun dengan kesenangannya menerima pujian, ia juga bersikap hiperkritis terhadap orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela dan meremehkan apapun dan siapapun. Ia tidak pandai dan tidak mampu mengungkapkan penghargaan atau pengakuan terhadap kelebihan orang lain.
Keempat, orang yang berkonsep diri negatif cenderung merasa tidak disukai orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan. Karena itu ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak akan pernah menyalahkan dirinya tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres.
Kelima, ia bersikap pesimis terhadap kompetisi. Ia enggan bersaing dengan orang lain dalam berprestasi. Ia menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.
Sebaliknya orang yang berkonsep diri positif juga ditandai dengan lima hal: (1) ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah; (2) ia merasa setara dengan orang lain; (3) ia menerima pujian tanpa rasa malu; (4) ia menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, perilaku dan keinginan yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat; dan (5) ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.
Dalam kenyataannya memang tidak ada orang yang murni sepenuhnya berkonsep diri positif atau negatif. Namun, sebatas kita mampu, sebanyak mungkin ciri-ciri konsep diri positif semestinya kita punyai.
Lantas kapan momen yang tepat untuk bercermin?
Ya, saat ini, sekarang juga.
Tidak mesti saat 1 Januari, Imlek, Tahun Baru Islam atau Tahun Baru Saka. Tiada waktu yang terbaik kecuali SEKARANG.
Maaf ya, 2021.
Itu sejatinya nasihat buatku sendiri.
Aku yang kerap harus berjuang keras menaklukkan sederet kelemahanku sebagai manusia.
Untunglah salah satu Jendela Johari (Johari Windows), teori psikologi yang mengungkapkan tentang lima jendela kepribadian manusia, mengenai aib diriku masih Tuhan lindungi untuk tidak diketahui secara luas.
Lewat surat terbuka ini, setidaknya aku coba berbagi untuk semua.
Karena adakalanya, sebagaimana pesan Imam Syafi'i, sebuah ilmu atau pengetahuan itu terkadang justru lebih mampu bermanfaat lewat tangan orang yang menerimanya tinimbang orang yang mengajarkannya.
Wahai 2021, izinkah aku menyeru kepada diriku dan para pembaca catatanku ini: Sudahkah kita bercermin hari ini?
Sudah ya, 2021, terima kasih telah mendengarkan curahan hati serta harapanku kepadamu. Semoga Engkau bukanlah PHP (Pemberi Harapan Palsu) sebagaimana banyak politisi dan para pemimpin negeriku.
Tapi, jika pun iya, toh aku, sebagaimana kebanyakan warga negeriku, sudah terlatih patah hati. Tapi, ya, jangan begitu juga ya. Jangan bikin aku patah hati, please.
Wahai 2021, akhir kata, izinkan aku merangkai doa untukku dan warga negeriku.
Tuhanku, kami tidak memintamu untuk hanya memberi kami ujian yang mudah-mudah saja. Karena sejatinya itu semua hak prerogatifmu, dan pasti ada segenap pem(b)elajaran terbaik dari-Mu bagi kami lewat apa pun yang Engkau takdirkan bagi kami.
Namun, Tuhanku, kami memohon kepadamu agar Engkau memampukan kami, menguatkan kami dalam menjalani apa pun kejadian yang akan kami lalui dalam tahun yang baru. Karena kami percaya hanya Engkau yang tidak akan pernah mengecewakan kami dan takkan pernah membuat kami patah hati. Hanya Engkau, tiada yang lain. Amin. ***
#DuaGobangSaja
#BungSalam
Jagakarsa, 2 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H