Jelang tutup tahun 2020, dari laman Kaleidioskop Kompasiana 2020, ada kejutan tersendiri bagi saya sebagai Kompasioner.
Artikel saya berjudul Indonesia Resesi? Terima Kasih, Sri Mulyani yang sempat menjadi Headline (HL) atau Artikel Utama (AU) pada 26 September 2020 ternyata masuk dalam daftar 20 artikel HL terpopuler sepanjang 2020. Dengan raihan 18.934 pembaca dan 24 komentar, artikel tersebut menduduki ranking 15 dari 20 artikel HL atau AU terpilih. Alhamdulillah.
Ya, kalimat tahmid atau hamdalah patut diucapkan atas apa pun nikmat yang Allah berikan.
Recehkah capaian tersebut?
Bagi sebagian penulis atau Kompasioner, capaian atau prestasi semacam itu mungkin bukan hal yang istimewa, sekadar recehan saja. Namun, bagi saya, sebagai Kompasioner yang baru aktif menulis kembali di 2020, itu jelas prestasi istimewa. Itu salah satu tonggak pencapaian (milestone) sebagai seorang Kompasioner.
Betapa tidak. Sejak bergabung di Kompasiana sejak 2010, praktis hanya 3-4 tahun awal saya aktif menulis di Kompasiana. Selebihnya dormant (tidak aktif menulis) atau sekadar sebagai silent reader (pembaca senyap).
Nah, dengan capaian tersebut, setidaknya itu hadiah bagi diri saya pribadi yang berkomitmen aktif menulis kembali di Kompasiana sejak awal 2020, terutama sejak awal pandemi COVID-19 pada Maret 2020. Barangkali itulah salah satu berkah pandemi. Kendati tentu saja kita semua tidak berharap pandemic akan terus berlangsung lebih lama.
Namun, apa pun keadaan ke depan, kita harus senantiasa mensyukuri apa yang telah miliki dan apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. Dan senantiasa mengambil pelajaran atau hikmah dari apa pun yang terjadi, dan selalu berpikir positif atas segenap kejadian tersebut.
Dalam konteks itulah, saya berucap hamdalah dan juga berterima kasih kepada Admin Kompasiana yang menetapkan artikel tersebut sebagai AU dan juga kepada segenap pembaca artikel tersebut dengan apa pun pandangan atau komentar mereka.
Judul clickbait?
Terkait artikel itu sendiri, dari komentar di media sosial (baik yang dibagikan akun Kompasiana maupun lewat akun saya) di Instagram atau Facebook, tampaknya banyak yang menganggap judul artikel tersebut sekadar clickbait. Umpan untuk mengejar jumlah klik atau view.
Saya membacai segenap komentar itu dengan tersenyum. Mereka benar, namun tidak sepenuhnya benar.
Clickbait senantiasa dipandang negatif atau berkonotasi pejoratif atau miring. Sejatinya, tidaklah demikian. Itu tergantung daya kreasi dan olah pikir kita sebagai penulis. Yang penting, sebagai penulis, kita tidak berdusta dan tetap menjaga integritas sebagai seorang penulis.
Banyak pembaca di media sosial yang tampaknya hanya membaca judul artikel tersebut dan langsung menudingnya sebagai artikel yang menyerang figur Bu Menteri Sri Mulyani. Kontan saja kerumunan pembaca itu melabelkan kadrun atau kadal gurun (sebutan negatif untuk kalangan oposan pemerintah).
Tapi saya bersyukur masih banyak pembaca cerdas, termasuk juga para Kompasioner yang berkomentar positif atas isi artikel tersebut. Rata-rata, setidaknya yang tergambar dari komentar yang ada, mengapresiasi artikel tersebut.
Persoalan apakah sekadar basa-basi atau apa, itu jelas bukan wewenang saya untuk menilainya. Bagi saya, jelas sudah bahwa tiap  tulisan punya takdirnya masing-masing. Dan setiap pembaca punya hak untuk menafsirkan sesuatu termasuk juga sebuah artikel sesuai pola pikirnya. Dan untuk itu ada banyak faktor yang terlibat. Tentu teramat kompleks untuk dijabarkan satu persatu.
Dari perspektif saya sendiri sebagai penulis, artikel ini berupaya menempatkan figur seorang Sri Mulyani sebagai Menkeu di era pandemi, dengan segudang prestasi nasional dan internasional, yang harus berhadapan dengan realitas krisis moneter, yang dibahasakan saat ini sebagai "resesi", diakibatkan pandemi belakangan ini. Dan itu hal yang wajar, karena bukan Indonesia sendiri yang mengalami kondisi tersebut, tetapi juga banyak negara lain di dunia. Karena seperti halnya makna kata "pandemi", krisis ekonomi atau resesi ini bersifat mondial atau global.
Jelas Sri Mulyani bukan superwoman yang sanggup menghadapinya sendirian. Ia butuh bantuan banyak pihak, tidak hanya dari rekan sejawat di kabinet tetapi juga rakyat negeri ini.
Seandainya berhasil, tentu itu akan jadi kondite teramat baik bagi Bu Menteri untuk melangkah sebagai kandidat presiden di 2024. Apalagi sejak 2009 pun sebagian kalangan termasuk Rocky Gerung dkk melalui Partai SRI sudah berinisiatif mengusung Sri Mulyani sebagai capres yang sayangnya terhadang kendala tidak lolosnya partai baru tersebut untuk berlaga di pileg dan pilpres 2014.
Ini jelas bukan apologi saya sebagai penulis, dan juga bukan pengarahan dari saya untuk mendiktekan apa yang mesti dipahami saat membaca artikel tersebut. Silakan Anda membaca artikel tersebut sendiri. Tautannya ada di bagian referensi di akhir tulisan ini.
Akhirul kalam, bagaimanapun juga artikel itu, termasuk juga setiap tulisan, adalah teks, yang bersifat terbuka untuk dipahami dan ditafsirkan para pembacanya, karena, menurut Roland Barthes dalam The Death of The Author (1967), di situlah (peran dan identitas) penulis atau pengarang telah mati.
Jakarta, 31 Desember 2020
Referensi:
1. https://kaleidoskop.kompasiana.com/
2. https://kaleidoskop.kompasiana.com/headline-terpopuler
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H