Terkait artikel itu sendiri, dari komentar di media sosial (baik yang dibagikan akun Kompasiana maupun lewat akun saya) di Instagram atau Facebook, tampaknya banyak yang menganggap judul artikel tersebut sekadar clickbait. Umpan untuk mengejar jumlah klik atau view.
Saya membacai segenap komentar itu dengan tersenyum. Mereka benar, namun tidak sepenuhnya benar.
Clickbait senantiasa dipandang negatif atau berkonotasi pejoratif atau miring. Sejatinya, tidaklah demikian. Itu tergantung daya kreasi dan olah pikir kita sebagai penulis. Yang penting, sebagai penulis, kita tidak berdusta dan tetap menjaga integritas sebagai seorang penulis.
Banyak pembaca di media sosial yang tampaknya hanya membaca judul artikel tersebut dan langsung menudingnya sebagai artikel yang menyerang figur Bu Menteri Sri Mulyani. Kontan saja kerumunan pembaca itu melabelkan kadrun atau kadal gurun (sebutan negatif untuk kalangan oposan pemerintah).
Tapi saya bersyukur masih banyak pembaca cerdas, termasuk juga para Kompasioner yang berkomentar positif atas isi artikel tersebut. Rata-rata, setidaknya yang tergambar dari komentar yang ada, mengapresiasi artikel tersebut.
Persoalan apakah sekadar basa-basi atau apa, itu jelas bukan wewenang saya untuk menilainya. Bagi saya, jelas sudah bahwa tiap  tulisan punya takdirnya masing-masing. Dan setiap pembaca punya hak untuk menafsirkan sesuatu termasuk juga sebuah artikel sesuai pola pikirnya. Dan untuk itu ada banyak faktor yang terlibat. Tentu teramat kompleks untuk dijabarkan satu persatu.
Dari perspektif saya sendiri sebagai penulis, artikel ini berupaya menempatkan figur seorang Sri Mulyani sebagai Menkeu di era pandemi, dengan segudang prestasi nasional dan internasional, yang harus berhadapan dengan realitas krisis moneter, yang dibahasakan saat ini sebagai "resesi", diakibatkan pandemi belakangan ini. Dan itu hal yang wajar, karena bukan Indonesia sendiri yang mengalami kondisi tersebut, tetapi juga banyak negara lain di dunia. Karena seperti halnya makna kata "pandemi", krisis ekonomi atau resesi ini bersifat mondial atau global.
Jelas Sri Mulyani bukan superwoman yang sanggup menghadapinya sendirian. Ia butuh bantuan banyak pihak, tidak hanya dari rekan sejawat di kabinet tetapi juga rakyat negeri ini.
Seandainya berhasil, tentu itu akan jadi kondite teramat baik bagi Bu Menteri untuk melangkah sebagai kandidat presiden di 2024. Apalagi sejak 2009 pun sebagian kalangan termasuk Rocky Gerung dkk melalui Partai SRI sudah berinisiatif mengusung Sri Mulyani sebagai capres yang sayangnya terhadang kendala tidak lolosnya partai baru tersebut untuk berlaga di pileg dan pilpres 2014.
Ini jelas bukan apologi saya sebagai penulis, dan juga bukan pengarahan dari saya untuk mendiktekan apa yang mesti dipahami saat membaca artikel tersebut. Silakan Anda membaca artikel tersebut sendiri. Tautannya ada di bagian referensi di akhir tulisan ini.
Akhirul kalam, bagaimanapun juga artikel itu, termasuk juga setiap tulisan, adalah teks, yang bersifat terbuka untuk dipahami dan ditafsirkan para pembacanya, karena, menurut Roland Barthes dalam The Death of The Author (1967), di situlah (peran dan identitas) penulis atau pengarang telah mati.