Bertahun-tahun merantau tanpa kabar, ketika pulang dengan predikat saudagar kaya, ia campakkan ibunya yang dianggapnya tak sederajat dengannya.
Berhati-hatilah dengan kutukan seorang ibu yang terlanjur luka hatinya digarami. Laut pun bergejolak dahsyat. Alam meradang hebat. Kapal mewah sang anak durhaka pecah dihantam ombak. Karam.
Si Malin pun membatu, sebatu hatinya saat menolak mengakui sang ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkannya.
Kenapa disebut Hari Ibu alih-alih Hari Perempuan?
Demikian pertanyaan yang mengemuka.
Hal yang wajar dan logis jika ada pertanyaan demikian.Â
Karena sejatinya sejarah terlahirnya peringatan Hari Ibu (Mother's Day) di Indonesia berawal dari Kongres Perempuan Indonesia I yang diselenggarakan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta.
Dengan dihadiri kurang lebih 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera, rapat akbar para pejuang perempuan itu dianggap sebagai titik tolak persatuan perjuangan perempuan Indonesia di tengah masa penjajahan Belanda dan hegemoni patriarkisme.Â
Dan salah satu hasil dari rapat tersebut salah adalah pembentukan Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang masih berdiri hingga saat ini.Â
Kendati, dalam pasang surut perjalanannya, Kowani tidak lagi berperan sebagai wadah tunggal pergerakan perempuan Indonesia.Â
Di era 50-an, Kowani ditinggalkan sejumlah organisasi perjuangan perempuan yang terafiliasi golongan kiri, seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang belakangan populer dan ditumpas Orde Baru selepas peristiwa 30 September 1965 atau G-30 S PKI.