Aku meringis menahan sakit.
Perlahan aku ketuk pintu kamar itu. Tidak ada jawaban dari dalam. Kudorong sedikit. Ternyata tidak terkunci. Kulongokkan kepala. Mama sedang berbicara di telepon genggamnya. Sesekali terdengar gelak tawanya. Mama tampak gembira sekali.
"Begitulah, Jeng, kita harus maju terus. Biar pun jumlah kita sedikit, kita punya dukungan media massa!" Lantas Mama terdiam. Asap rokok putihnya mengepul.
"Ya, iyalah. Biar mereka demo sejuta atau dua juta orang, kalau ga ada TV yang liput ya nihil juga to? Lagian soal begituan kok diatur-atur segala. Porno atau tidak, itu kan tergantung pikiran kita. Kalo iman kita kuat, masak sih tergoda!" sahut Mama tangkas. Ia meneguk kopinya.
Mama tertawa lagi mendengar balasan di ujung telepon.
"Ah, Jeng Keke bisa aja. Tapi betul juga sih bisa mati juga rejeki kamu ya. Dasar selebritis!" Gelak tawa Mama kian menggelegar. Membelah sunyi malam di kompleks elite ini.
"Oke, sampai ketemu besok sore ya. Sorry, aku mungkin agak telat. Aku harus kasih kuliah dulu di fakultas. Ini lagi ketik makalahnya. Okay, see you. Daag!"
Mama tersenyum menutup telepon genggamnya. Sejenak kemudian ia baru menyadari kehadiranku, puteri tunggalnya.
"Eh, sudah lama, Sayang?" sambutnya seraya lekas mematikan rokok di asbak.
"Mama sih lama banget telponnya," ujarku merajuk. Aku menyurukkan kepalaku ke pangkuannya. Hangat.