Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Inilah Rahasia Judul "Clickbait" Lebih Laris

6 Desember 2020   05:41 Diperbarui: 6 Desember 2020   05:41 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku wajib penulis fiksi/Foto: bukalapak.com

Selamat datang!

Apakah Anda memutuskan membaca artikel ini karena pengaruh judulnya yang menggoda? Jika ya, selamat ya! Anda telah melahap umpan klik (clickbait).

Marah? Kesal? Jangan dong. Anggap saja ini seperti latihan silat. 

Kadang kita tersepak kelewat kencang, kadang tinju kita yang menghantam teramat kuat ke wajah kawan sendiri. Intinya, ada banyak kesalahan. Ada juga kenahasan. Shit happens.

Gola Gong (seorang novelis era 90-an yang seangkatan Hilman "Lupus" Hariwijaya) yang masyhur dengan novel Balada Si Roy, pernah mengatakan bahwa menjadi penulis adalah seperti menjadi seorang pendekar. Semakin terlatih, semakin andal jurus-jurusnya. Dan banyak berlatih, tentu banyak pula kesalahan yang kita buat. Itu wajar saja bukan?

Yang tidak wajar adalah yang tidak pernah belajar dari kesalahan dan juga tidak mau belajar dari pengalaman orang lain. Termasuk juga dari diskusi atau perbincangan dengan kawan penulis atau narablog (blogger) atau kalangan lainnya.

Jadi, mari kali ini kita berbincang perihal nama pena dan para sahabat atau konco-konconya. Apa sajakah itu?

Nama Pena

Dulu di era platform blog Multiply (era 2000-an) masih berjaya, seorang kawan meminta saya mengomentari tulisannya. Saya tertegun. Nama penanya unik, Macaca fascularis, yakni nama spesies monyet berekor panjang di pedalaman Sumatera. Terdengar bagus di telinga. 

Memang banyak orang yang memakai nama Latin sebagai nama identitas. Seperti seorang kakak kelas SMA saya yang dinamai oleh orangtuanya Oryza Sativa (nama genus untuk padi). Sebuah nama yang cantik dan beraura positif. Barangkali sinonim dengan Sri, nama dewi padi yang banyak dipakai untuk nama perempuan di Jawa. 

Memang nama pena apapun adalah hak prerogatif seorang penulis. Yang lebih mengejutkan, seorang kawan yang lain di blog Multiply memperkenalkan identitasnya sebagai, maaf, beha38b! Dahsyat, bukan?

Perihal nama, William Shakespeare, sang sastrawan legendaris Inggris, pernah mengatakan, "What's in a name, rose is a rose". Apalah artinya sebuah nama, mawar tetaplah mawar. Tetap harum mewangi. 

Sementara Nabi Muhammad SAW, dalam hadisnya yang diriwayatkan Bukhori, mengatakan bahwa nama adalah doa, di mana setiap kali orang memanggil kita maka itu adalah doa bagi kita.

Secara psikologis, atribut yang kita pakai termasuk nama diri atau nama pena memiliki dampak atau menimbulkan image atau branding (pencitraan) terhadap diri kita. 

Ada yang namanya bad effect (pengaruh buruk), ada juga halo effect (efek halo, yakni semacam lingkaran cahaya yang biasanya melingkari kepala malaikat yang biasa kita lihat di film-film), asosiasi positif atau menguntungkan karena atribut yang disematkan pada diri kita. 

Contoh halo effect, jika kita mendengar nama seseorang "Yasmin Mumtaz" yang terdengar manis di telinga, ada asosiasi di benak kita bahwa pemilik nama itu pastilah secantik namanya. 

Dalam bahasa Arab, nama itu bermakna "melati yang istimewa". Sang empu nama memang seorang eks-presenter dan produser salah satu stasiun TV swasta yang cantik dan cerdas.

Untuk konteks kekinian, sebut saja Anya Geraldine, Marion Jola, atau Ariel Tatum. Silahkan tambahkan daftar sendiri nama idola Anda sesuai generasi Anda.

Nah, masih terkait nama, para produsen barang juga berlomba-lomba memilih nama yang bagus untuk produk mereka, yang unik dan bermakna positif. Terlebih jika kita merujuk pada fengshui-Hongshui Tionghoa yang amat detail mengkalkulasi potensi citra dan rejeki dari nama identitas kita, termasuk juga nama pena.

 

Judul

Berikutnya tentang konco-konco nama pena. Antara lain, judul.

Salah satu jurus untuk menaklukkan pembaca dan sudah populer dipraktikkan adalah membuat judul yang membuat penasaran atau eye-catching. Sekarang lebih populer dengan istilah click-bait (umpan klik). Dan kita laksana ikan-ikan lugu yang kerap terjebak dengan judul-judul clickbait yang menggiurkan namun sejatinya pepesan kosong. 

Namun, itulah trik pemasaran. Intinya, awalilah tulisan kita dengan ledakan (bang), sekadar mengutip Ismail Marahimin dalam buku Menulis Secara Populer. 

Ada prinsip kuno, dengan majas ironi, dalam jurnalisme: Good news is bad news, but bad news is good news. 

Contoh klasiknya adalah berita yang luar biasa bukanlah anjing menggigit orang tapi orang yang menggigit anjing. Barangkali terkesan ngawur. Namun dalam konteks menarik perhatian pembaca, pendekatan tersebut bisa kita pakai. Misalnya dalam pemilihan judul. Seperti manusia, penampilan luar adalah hal penting. Dalam konteks ini, maaf, kata mutiara don't judge the book by its cover menjadi kurang relevan.

Koran-koran kuning di Indonesia (Anda bisa sebut sendiri dalam hati siapa saja mereka) biasa memampang judul yang provokatif seperti: "JANDA DIPERKOSA, RAIB 300 JUTA". Meskipun kadang informasi tersebut hanya dibahas sekilas atau bahkan tidak dibahas lagi dalam batang tubuh teks. 

Tapi, intinya, tonjolkan kelebihan dan tutupi kekurangan dalam tulisan kita. Ini sah-sah saja dalam dunia penulisan yang bisa dibilang sudah menjelma menjadi sebuah industri, yang karib dengan pranata pemasaran (marketing) yang canggih.

Dalil tentang pemilihan judul yang menarik atau eye-catching tersebut juga relevan di dunia maya atau media sosial. Terlebih di jagat Kompasiana ini. 

Bayangkan, di antara sedemikian banyak postingan atau berita di medsos, termasuk juga di Kompasiana, kita cenderung hanya memilih yang menarik perhatian. 

Contoh, sebuah tulisan mengenai kisah pengorbanan induk monyet untuk mempertahankan anaknya yang diberi judul "MENCINTAI SESAMA MAKHLUK TUHAN" tentu baik (tergantung untuk segmen konsumen siapa) tapi tidak menggairahkan, kurang sexy. Lebih menarik bila judul tersebut dikemas menjadi "MARI BELAJAR DARI MONYET", "NALURI KEIBUAN SEEKOR KERA " atau "BALADA KERA" atau judul-judul yang menarik lainnya.

Perlu diingat juga prinsip marketing yang kerap dikemukakan Zig Ziglar, seorang motivator publik dan mantan wiraniaga (salesman) mobil terlaris dalam sejarah Amerika Serikat, bahwa "orang membeli karena didorong emosi". 

Silakan diteroka emosi dasar apa saja yang memancing naluri pembaca untuk terus dan tetap membaca? 

Maaf-maaf saja, untuk saat ini, judul yang memancing naluri seksual, isu Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) atau kebutuhan perut tentu akan lebih mengundang perhatian alih-alih seputar pemikiran ilmiah atau berat (kecuali pembaca kita adalah ilmuwan, lain soalnya). Tidak usah jauh-jauh menuding, lihat saja di buana Kompasiana ini. Terutama di bidang artikel politik.

Sesuai Teori Hierarki Maslow bahwa kebutuhan akan hal-hal tersebut adalah basic needs (kebutuhan dasar)yang merupakan dasar piramida dalam hierarki penyintasan (survival hierarchy). Sementara kebutuhan akan prestasi atau ekspresi diri adalah bagian puncak piramida yang hanya akan dicapai bila perut sudah kenyang atau kebutuhan lain akan keamanan terpenuhi.

Jadi judul untuk tulisan tentang induk monyet di atas bisa saja diberi judul "NASIHAT DARI NENEK MOYANG DARWIN". Anda tentu masih ingat teori Charles Darwin tentang evolusi, bukan? Terlepas apakah kita mem(p)ercayainya atau tidak.

Pilihan lain,"MONYET JUGA MANUSIA(WI)" yang merujuk pada sifat-sifat kemanusiaan yang luhur. 

Lebih jauh, judul juga perlu disesuaikan apakah kita akan mengembangkannya menjadi bentuk tulisan non-fiksi atau fiksi. Dalam hal ini wajib hukumnya pertimbangan yang matang dan amatan pasar yang cermat.

 

Dialog dan Narasi

Seperti dalam dunia kuliner, dialog adalah ingredient yang penting. Rekannya, narasi, juga tidak kalah penting. Porsi keduanya harus pas, agar tidak kepedasan atau terlalu hambar. Salah menempatkan keduanya bisa berabe. 

Menurut Afifah Afra, aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) dan novelis Bulan Mati di Javasche Orange (Era Intermedia, 2001), narasi ditulis agar pembaca seperti mengalami sendiri kisah yang ditulis oleh pembaca. Tetapi terlalu banyak memainkan jurus narasi alih-alih menyegarkan justru bisa berpotensi membikin pembaca mengantuk dan pegal membacanya.

Di sisi lain, ada adagium penulisan don't tell it but just show it. Jangan cuma diceritakan tetapi juga tunjukkan. 

Pelukisan kejadian atau tindakan dalam sebuah tulisan dapat memperlancar sebuah tulisan untuk dicerna dan diserap saripatinya. Di sinilah dialog berperan. Karena dialog pun dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi. 

Buku wajib penulis fiksi/Foto: bukalapak.com
Buku wajib penulis fiksi/Foto: bukalapak.com

Josiph Novakovich dalam Berguru kepada Sastrawan Dunia (Mizan, 2003) mengatakan: "Karena dialog mengungkapkan informasi tentang perjuangan seseorang, pastikan Anda tidak memberi kami informasi yang sepele dan tidak relevan. Hindari pendahuluan yang realistis; buatlah ringkasan pendahuluan yang enak lalu langsung masuk ke dalam dialog....Jangan tunjukkan semua contohnya, sajikan yang dramatis, saat diperlukan saja, dan sajikan yang lainnya dalam bentuk ringkasan." (hal. 182-183).

Namun, terlalu banyak dialog, ujar Mohammad Diponegoro dalam Yuk Menulis Cerpen Yuk (Shalahuddin Press, Yogyakarta, 1991), bisa membuat tulisan terlalu encer. 

Jadi memainkan keduanya butuh nilai rasa, atau kadung populer disebut feeling. Ini seperti kita memainkan gas atau persneling ketika mengendarai motor atau mobil. 

Juga seperti rasa masakan. Coba minta keluarga atau sahabat kita untuk 'mencicipi' tulisan kita. Apakah sudah ganyeng atau bumbunya sudah pas? Sudahkah mencapai efek yang kita inginkan?

Jika belum, mari kita banyak berlatih menulis, membaca dan berdiskusi. Sejatinya ini juga nasihat untuk saya pribadi. 

Selain itu, persiapkan mindset kita dalam menulis karena menulis seperti meludah dan buang hajat, harus ikhlas. Dari sekian banyak tulisan yang belum baik kelak seiring bertambahnya jam terbang dan referensi bacaan pasti muncul yang terbaik. Practice makes perfect. Alah bisa karena biasa.

Yang terakhir, kritik juga merupakan bahan bakar bagi energi kepenulisan. 

Ibarat sebuah bahtera, kritik adalah angin yang justru mendorongnya bergerak sampai ke daratan harapan.  Selain itu, seberapa pun kadarnya, mari berbagi apa yang kita tahu. Karena berbagi ilmu itu sesungguhnya sedekah, dan setiap sedekah berbuah keuntungan baik berupa tambahan ilmu atau manfaat lainnya.

Jika itu yang kita amalkan, Insya Allah, konco-konco kita akan jauh lebih banyak daripada konco-konco nama pena.

Kramat Babakan, 6 Desember 2020

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun