"Carve your name on hearts, not tombstones. A legacy is etched into the minds of others and the stories they share about you." (Shannon Alder)
Pahatlah namamu di hati, bukan hanya di batu nisan. Pusaka itu terpatri di benak orang lain dan cerita-cerita mereka tentangmu, demikianlah kutipan perkataan Shannon Alder, seorang penulis perempuan dari Amerika Serikat.
Terkait cerita, ada banyak cerita di sebuah sekolah home schooling komunitas (SHS) tempat anak saya, Muhammad Alham Navid, bersekolah selama empat tahun belakangan ini.
Aneka cerita dan aneka rasa yang bukan saja dialami dan dirasakan Alham sebagai siswa, namun juga ibundanya yang tiap hari mengantarjemputnya bersekolah.
Cerita perjuangan
Alham mulai bersekolah di SHS pada 2016 dengan status siswa pindahan.
Saat itu ia pindah dari salah satu sekolah dasar (SD) swasta di Jagakarsa, Jakarta Selatan, selepas pembagian rapor kenaikan kelas di kelas 2 SD.
Meskipun Alham dinyatakan naik ke kelas 3, kami sebagai orang tua terpaksa memindahkannya karena ada banyak kasus perisakan (bullying) yang dialaminya sejak kelas satu oleh siswa dan oknum guru. Mulai dari dikeroyok beramai-ramai di kelas, alat-alat sekolahnya dirampas paksa hingga didorong jatuh dari tangga sekolah.
Segala perisakan tersebut sempat membuatnya mengalami trauma psikis, kerap bermimpi buruk, dan bicaranya menjadi gagap. Padahal semasa di TK, karena kemampuan berkomunikasinya, ia justru sering diminta menjadi MC (Master of Ceremony) atau pembawa acara di acara-acara sekolah.
Di samping itu, hanya segelintir guru di sekolah itu yang dapat memahami gaya belajar Alham yang kinestik-visual dan super-aktif. Orang bilang ia lasak.