Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Tiga Jurus Menulis dari Para Maestro

12 November 2020   21:10 Diperbarui: 15 November 2020   16:30 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membuat tulisan | Photo by Patrick Fore on Unsplash

Apa pun caranya, menulis tidak berbeda dengan berolahraga. Ia butuh energi. Jika energi pendorong lemah, yang lahir hanyalah tulisan yang alakadarnya, loyo, dan tidak punya ruh atau jiwa.

Jika ia manusia, tulisan semacam itu hanyalah mayat, yang tidak bernyawa. Atau bahkan bangkai. 

Percayalah, seperti kata Dale Carnegie, no one kick the dead dog. Tidak ada yang peduli dengan bangkai. Karya-karya tulisan yang bagus-bagus dipuji sekaligus, ada juga yang, dikritik keras atau dicerca karena mereka hidup, bernyawa.

Contohnya, roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck gubahan Buya Hamka atau novel Belenggu gubahan Armin Pane pada zamannya juga pernah dicap picisan, cabul dan cengeng. Namun perjalanan waktulah yang menggosok intan agar cahaya yang memancar cemerlang adanya. Demikianlah yang terjadi pada kedua karya tersebut yang kemudian melegenda dalam jagat sastra Indonesia.

Nah, bagaimana memunculkan energi dalam tulisan? Bagaimana agar proses penggosokan intan dalam karya-karya kita kelak memunculkan cahaya yang juga cerlang gemilang?

"If I have seen further than others, it is by standing upon the shoulders of giants," ujar ilmuwan Isaac Newton saat ditanya keberhasilannya menemukan berbagai teori fisika termasuk Teori Gravitasi.

Jika Newton dapat melihat lebih jauh karena berdiri di atas bahu para raksasa (baca: para ilmuwan besar pendahulunya), demikian juga kita sebagai penulis. Kita dapat (dan semestinya) belajar dari para penulis senior dan para maestro kata.

Sejurus dua jurus dapatlah kita berguru dari para pendekar kata di belantara persilatan literasi nusantara dan mancanegara.

Jurus pertama: Jadilah diri sendiri

Menurut John Cowper Powys, filsuf dan novelis Inggris, "Yang penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri; apa yang dimilikinya dalam kepalanya, dalam alat-alat panca inderanya, dalam watak dan pribadinya, dalam darah dan temperamennya."

Mochtar Lubis, sastrawan Indonesia angkatan 1950, dalam bukunya berjudul Teknik Mengarang (1950), yang kemudian diterbitkan ulang dengan judul Sastra dan Tekniknya pada kurun 90-an, memperjelas maksud perkataan Powys tersebut dengan mengungkapkan bahwa gaya pengarang tergantung sebagian besar dari watak pengarang itu sendiri.

Ia haruslah menumbuhkan gaya mengarang sendiri, yang sesuai dengan watak, emosi dan dengan pertimbangan serta apresiasi bahasanya sendiri.

Buku Teknik Mengarang karya Mochtar Lubis/Foto: gramho.com
Buku Teknik Mengarang karya Mochtar Lubis/Foto: gramho.com
John Gardner, novelis dan kritikus sastra Amerika Serikat, dalam The Art of Fiction (1983) mengatakan,"Kebanyakan orang yang saya ketahui ingin menjadi pengarang, dengan mengetahui apa artinya hal itu, akhirnya menjadi pengarang.

Hal yang perlu dimiliki oleh para pengarang pemula adalah memahami dengan jelas apa yang sebenarnya mereka inginkan dan apa yang harus mereka lakukan untuk bisa menjadi orang yang mereka inginkan itu."

Hal itu juga yang mendasari sang penyair "Burung Merak" W.S. Rendra mengucapkan perkataan yang legendaris dalam acara penganugerahan Hadiah Seni dari Akademi Jakarta pada 22 Agustus 1975, "Dalam ilmu silat tidak ada juara nomor dua, di dalam ilmu surat tidak ada juara nomor satu."

Karena menulis merupakan bentuk ekspresi diri, yang menurut Abraham Maslow, merupakan bentuk keparipurnaan psikologi seorang individu. Dengan demikian, sifatnya sangat personal, dan sejatinya bukanlah hal yang (mutlak) kompetitif.

Sebagaimana dituliskan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah yang merupakan bagian dari Tetralogi Pulau Buru bahwa sesederhana apa pun cerita yang dibuat, ia mewakili pribadi individu atau bahkan bangsanya.

Alhasil, menyitir pesan William Faulkner, seorang sastrawan Amerika Serikat peraih Nobel Sastra pada 1949, "Jangan sibuk berusaha menjadi lebih baik daripada para pengarang yang terdahulu, tetapi cobalah menjadi lebih baik daripada dirimu sendiri."

Dalam hal ini, ruh atau jiwa (soul) sebuah tulisan adalah hasil internalisasi visi, emosi, dedikasi, pengalaman, logika, wawasan, elan vital (semangat) kontemplasi dan keterampilan teknis seorang penulis.

Porsi keterampilan teknis di sini barangkali hanya sekian persen. Karena unsur-unsur lain yang lebih condong mengetuk perasaan atau kalbu justru bisa jadi lebih dominan.

Selain juga terdapat syarat-syarat ketertarikan pembaca pada sebuah tulisan, yakni antara lain novelty (kebaruan, misalnya tema yang baru dan berbeda dari arus utama atau mainstream), similarity (kemiripan dengan keseharian hidup mayoritas pembaca) dan visionary (memiliki pandangan jauh ke depan).

Mochtar Lubis, juga dalam Sastra dan Tekniknya, mewanti-wanti bahwa orang hanya menulis apabila ada sesuatu dalam jiwanya yang mendesak-desak, memaksanya mengambil alat tulis dan menulis.

Jika orang mengarang karena ikut-ikutan atau sekadar meniru karena ingin terkenal atau masyhur maka orang yang demikian pastilah dari semula tidak akan berhasil menjadi pengarang

Jurus kedua: Perbanyaklah membaca atau berpetualang

Menurut Mochtar Lubis, tiga perangkat wajib seorang pengarang atau penulis adalah observasi, imajinasi dan logika. Dan ASI (Air Susu Ibu) bagi sang "bayi" penulis adalah buku.

Seperti ucapan Mark Twain, pengarang The Adventures of Tom Sawyers, "The man who does not read good books has no advantage over the man who cannot read them."

Orang yang tidak membaca buku-buku bagus tiada bedanya dengan orang yang tidak bisa membaca.

Dalam konteks tersebut sebuah pepatah berbahasa Inggris cukup relevan jadi panduan: "Ordinary people talk about people; mediocre people talk about events and extraordinary people talk about ideas."

Orang-orang kelas bawah membicarakan orang; orang-orang kelas medioker atau semenjana membicarakan peristiwa sementara orang-orang yang berkaliber luar biasa membicarakan ide atau gagasan.

Jika dunia seorang penulis hanya melulu sarat dengan bacaan ringan, gosip selebritas dan hal-hal remeh temeh maka output dan kualitas tulisannya tidak jauh dari apa yang dimamahnya tersebut. Ia hanya akan menjadi penulis berkategori kelas bawah, bukan yang sedang-sedang saja, apalagi luar biasa.

Seperti kata orang bijak, jangan penuhi pikiranmu dengan hal-hal kecil karena akan terlalu sedikit ruang untuk pikiran-pikiran besar.

Sementara itu Samuel Johnson (1709-1784), seorang penulis berkebangsaan Inggris mengatakan,"Sebagian besar waktu seorang penulis dihabiskan untuk membaca agar bisa menulis. Ia perlu membuka halaman separuh isi perpustakaan untuk menciptakan sebuah buku."

Hanya saja, idealnya, sebelum Anda kelak tergila-gila menulis, rasa "lapar" menulis harus tercipta dahulu. Ia timbul lewat membaca atau mengalami peristiwa.

Gola Gong, sang novelis Balada Si Roy dan penulis skenario sinetron, "melaparkan" dirinya dengan berkeliling benua Asia dengan mengendarai sepeda hingga menelurkan karya Perjalanan Asia.

Hal itu relevan dengan pesan William Maugham yakni: "Jika tidak ingin membaca, seorang penulis harus melakukan petualangan untuk melahirkan tulisan."

Mari kita ambil saja makna terluasnya, yakni petualangan yang melahirkan pengalaman batin maupun pengalaman fisik.

Jurus ketiga: Menulislah tanpa beban
Menulislah tanpa beban, pesan Kuntowijoyo, salah satu sastrawan favorit saya dengan mahakarya Khotbah di Atas Bukit dan Dilarang Mencintai Bunga.

Menurutnya, hanya ada tiga cara untuk menjadi penulis, yaitu dengan menulis, menulis dan menulis. Menulislah seikhlas meludah atau buang hajat.

Seorang Habiburrahman Syaerozy atau Kang Abik juga tidak menyangka jika novel Ayat-Ayat Cinta, yang awalnya diniatkan mengisi waktu luang semasa menjalani pengobatan di rumah sakit, akan laris manis hingga dicetak ulang berkali-kali dalam waktu singkat.

J.K. Rowling yang awalnya hanya seorang janda miskin di Inggris pun tidak pernah bermimpi jika Harry Potter akan mendunia dan melegenda padahal semula ia hanya menuliskan khayalan masa kecilnya. Bahkan awalnya ditulis di atas sebuah tisu restoran karena kepapaannya itu.

Bagaimana jika bingung memilih kata pertama?

Ya, menulis saja. Apa pun itu.

Bahkan seorang Ernest Hemmingway, seorang nobelis sastra asal Amerika Serikat pun mempraktikkannya. Ia terus mengetik apa saja, kendati awalnya hanya sembarang kata. Bahkan hingga berlembar-lembar.

Otak kita, secara alamiah, seperti diungkapkan dalam berbagai buku psikologi dan motivasi termasuk The Secret karya Rhonda Byrne, adalah mesin dahsyat yang berproses otomatis memacu sistem kerja tersendiri untuk menghasilkan rangkaian kata yang bisa jadi kelak lebih dahsyat dari bayangan Anda semula.

Dalam konteks inilah Anda akan paham mengapa banyak orang mengatakan bahwa penulis adalah tuhan bagi karyanya. Dan mengapa banyak orang kecanduan menulis meskipun, katakanlah, hasilnya secara materi tidak seberapa.

Percayalah, apa pun bentuk tulisan yang ingin Anda tulis, dan sengawur apa pun kata awal yang dipilih, mekanisme "jin ifrit" dalam otak kita, mengutip istilah Mohammad Diponegoro dalam Yuk Menulis Cerpen Yuk!, akan menuntun kita untuk terus lancar menulis. Ia akan menemukan jalannya sendiri. Jin ifrit ini juga yang membantu kita mengetik dengan lancar.

Jika pada awal belajar mengetik Anda akan mencari-cari setiap tuts untuk ditekan, maka setelah Anda mengakrabi si jin ifrit tersebut, tangan Anda akan menari lincah seluwes dansa Salsa atau Waltz di papan ketik (keyboard).

Jika beberapa paragraf sudah dibuat atau naskah sudah selesai, sama seperti langkah Hemmingway, ia akan mengedit paragraf tersebut dan memperbaiki kekurangannya.

Di sinilah peran kreatif otak kanan Anda, yang semula menjadi panglima dalam proses pemilihan kata-kata-- akan diambil alih oleh otak kiri untuk mengedit dan melakukan sinkronisasi tulisan.

Kawan, percayalah, sekali Anda tergugah menulis dan terus menulis tanpa beban, bermodal kepercayaan diri sendiri dan asupan buku atau petualangan dan pengalaman fisik dan batin, maka Anda akan lahap menulis. Hingga akhirnya Anda akan ternganga dan terkagum-kagum sendiri,"Kok bisa ya saya menulis seperti ini?"

Andrea Hirata yang menulis novel Laskar Pelangi, yang merupakan novel perdana sekaligus karya sastra pertamanya, dalam tempo 2 minggu, dalam suatu wawancara dengan media, mengaku mengalami fenomena tersebut.

Jakarta, 12 November 2020

Baca Juga:

 1. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5f9e7356d541df610e4cb5c5/wahai-nabi-yang-tak-minta-dibela

2. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5f9ef562d541df19eb7279f3/warkop-bernama-kompasiana

3. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5f9f1335d541df29ba34bd23/episode-banjir-jakarta-lagi

4. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5fa91409de3439119a0b98b2/emmanuel-macron-dan-billy-milligan

5. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5fad26b7d541df7f07465e22/kenangan-hari-pertama-menjadi-ayah

6. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5fafa52d8ede4875bb6ff872/balada-remaja

7. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5fafba878ede4807bc496652/ustaz-radikal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun