Namun dari aspek produktivitas menulis, dan kepangkatan di Kompasiana (sistem kepangkatan ini baru ada di era "beyond blogging" atau K-Rewards), saya masih tergolong yunior.
Saat ini "pangkat" saya baru Taruna dengan poin 5000-an, meskipun sudah centang biru pada medio September 2020.
Pencapaian poin saya masih kalah dibandingkan Kompasioner Meirri Alfianto yang baru belakangan bergabung, dan bahkan hanya berselisih tipis dari Kompasioner Indra Rahadian yang sukses menggondol 4000-an poin kendati baru bergabung pada Agustus 2020.
Dalam sedekade di Kompasiana, praktis tahun produktif saya hanya sekitar 4 tahun, yakni di era 2010-2014, terutama ketika Kompasiana masih mengusung tagline atau semboyan "sharing and connecting". Selebihnya saya vakum menulis di Kompasiana atau lebih menikmati sebagai pembaca senyap (silent reader) saja.
Terlebih lagi saat itu, selain disibukkan aktivitas kerja kantoran, aktivis berkompasiana juga beririsan dengan aktivitas blogging di Multiply (sebelum platform itu tutup), berkegiatan sebagai aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) dan komunitas menulis Sekolah Kehidupan.
Di era Kompasiana lama, jika boleh disebut demikian, masa produktif itu sedemikian intens. Terutama karena waktu itu masih ada kategori Agama, yang sayangnya kerap menjadi hotspot (titik panas) pertarungan atau perdebatan.
Tidak jarang kategori Agama disesaki juga dengan artikel-artikel para penganjur Atheisme atau yang berbau anti-structured religion (anti-agama terstruktur). Alhasil, dapat Anda bayangkan panasnya "perang jihad" saat itu.
Kala itu, ada Kompasioner kondang bernama Erianto Anas (entah itu nama asli atau bukan, karena saat itu tidak ada kewajiban verifikasi identitas diri) yang kerap menulis artikel-artikel kontroversial seputar agama dan politik dengan paham agnostistik sekuler radikalnya. Pengikutnya pun tidak kurang-kurang banyaknya dan sangat militan.
Pernah juga saya berpolemik dengan salah satu punggawa barisan EA, bernama Radix WP, selama sekian bulan tentang peranan Islam dan agama-agama di Nusantara dalam pembangunan bangsa.
Itulah salah satu debat tertulis yang paling panjang dan paling melelahkan bagi saya. Namun, blessing in disguise (baca: hikmahnya), saya jadi banyak belajar (karena jadi harus membaca lebih banyak literatur guna mempertahankan argumen) dan lebih terlatih untuk modal pertarungan ide di pelbagai palagan yang lain.
Jika sebagian Kompasioner saat ini "mengeluhkan" peran Tim Admin yang dianggap minimalis, itu sebetulnya tidak seberapa dibandingkan "ideologi" Tim Admin Kompasiana lama yang lebih liberal, teramat toleran terhadap segenap perdebatan.