Bolehkah kita tidak menikah?
Sah-sah saja, karena itu hak pribadi. Lagipula menikah itu kebutuhan, bukan kewajiban.
Namun, jika alasan pertanyaan itu adalah karena ingin mengikuti jejak langkah seorang Rabi'ah Al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang tidak menikah seumur hidupnya, atau siapa pun tokoh panutan atau idola, tentu beda perkara.
Mengagumi seorang manusia idola atau panutan, tentu boleh-boleh saja. Akan tetapi, bagaimanapun, mereka tetap manusia biasa yang punya keterbatasan dan punya takaran untuk diikuti jejak langkahnya.
Kekaguman seorang kawan korespondensi terhadap sosok Rabi'ah rupanya berpengaruh besar pada dirinya. Hingga ia mengajukan pertanyaan demikian kepada saya sekian tahun lalu via surel (surat elektronik).
Sebagai "keranjang sampah" atau tempat curhat yang baik dan tepercaya, kurang lebih saya menjawab sebagai berikut kepada sang kawan yang masih betah membujang saat itu:
"Sahabat, sebagai Muslim, sembahan kita adalah Allah dan kita berpanutan kepada Nabi Muhammad SAW. Jika manusia lain yang dijadikan panutan (ulama sekalipun) akan banyak perdebatan yang timbul.Â
Jika soal tidak menikah, Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Taimiyah (sekadar menyebut beberapa ulama terkemuka) juga tidak sempat menikah. Bukan karena tidak mau, tetapi karena kesibukan berdakwah dan membela agama Islam saat itu. Imam Ahmad disibukkan dengan perdebatan soal apakah Qur'an itu "makhluk" atau tidak dengan kaum Mu'tazilah, dan Ibnu Taimiyah dengan perjuangan melawan penjajah Tartar.
Memang Rabi'ah Al-Adawiyah, wanita sufi dari Basrah (Irak) konon memutuskan untuk tidak menikah untuk semata-mata "bercinta" (baca: beribadah) dengan Allah. Dalam versi lain, konon beliau memang sudah tidak punya nafsu seksual, bi iznillah (dengan izin Alah atau Takdir Allah).
Saking cintanya kepada Allah, bahkan Rabi'ah bermunajat kepada Allah agar meminta tubuhnya kelak membesar memenuhi neraka sehingga tidak ada manusia yang masuk ke neraka, karena tidak ada tempat lagi di neraka.Â