Tapi, namanya juga jodoh. Asam di gunung, garam di laut, ketemunya di kuali juga.
Terlebih lagi cinta itu buta dan jodoh itu ranahnya Tuhan Yang Mahakuasa. Ia tidak kenal stereotipe atau prasangka budaya, hanya tunduk pada takdir-Nya.
Dua anak ayah saya, dari keenam anaknya, justru menikah dengan orang berdarah Padang. Anaknya yang keempat, yakni kakak perempuan saya, menikah dengan pria Minang yang tinggal di Pagaralam, Sumatera Selatan.
Bagaimana dengan anaknya yang satu lagi? Anaknya yang kelima, yakni saya sendiri, menikah dengan perempuan yang berdarah campuran.
Ibu istri saya, sang mama mertua, adalah orang Lampung yang punya kakek berdarah Banjar, Kalimantan Selatan, dan punya nenek berdarah Minang. Sementara bapak mertua saya orang Palembang yang beribukan keturunan Tionghoa.
Alhasil, dalam tubuh istri saya, mengalir darah Lampung, Palembang, Minang, Tionghoa, Banjar. Lalu dengan stereotip etnis yang manakah ia hendak ditahbiskan?
Demikian juga dengan anak semata wayang saya, Muhammad Alham Navid. Anak usia sebelas tahun itu juga selalu menyebut dirinya "suku Indonesia" jika ditanyai orang tentang asal-usul kesukuannya.
Di sisi lain, sekian tahun lalu ada seorang kawan lama, yang membanggakan kebetawiannya, yang meragukan asal-usul kesukuan saya. Dia tidak percaya saya orang Betawi hanya karena penampilan fisik saya dilihatnya lebih mirip orang Sunda atau orang Minang.
Ah, hari gini mempermasalahkah silsilah!Â
Bukankah sejak zaman Volksraad (DPRD era kolonial Belanda) dulu, Muhammad Husni Thamrin, sang singa podium dari Kwitang, sudah menyerukan persatuan nasional antara sesama suku bangsa di Nusantara?
Sedangkan Benyamin Sueb yang masyhur sebagai ikon orang Betawi dan berjasa mengangkat derajat kesenian gambang kromong Betawi ke pentas nasional ternyata juga tidak murni berdarah Betawi.