"Sekarang September. Apa warna yang kau mau?" tanya tembok jalan pada bocah kecil yang berdiri menatapnya.
Sang bocah tersenyum. Ia mengguyur tembok dengan cat merah. Merah darah.Â
Datang bocah lain, tubuhnya besar. Diusirnya bocah kecil, digebuk kuat-kuat. Sang bocah malang menangis, pergi merawat dendam di dada.
Tembok terkekeh. "Apa warna September yang kau mau, Kawan?"
Si bocah bengal tertawa pongah. "Putih!"
Dilaburnya tembok dengan warna putih seutuhnya, menghapus merah. Si bocah bersorak riang.
Tapi bahagianya belum tuntas. Bocah kecil kembali datang, kali ini garang menyerang. Mereka baku pukul di jalanan.
Sementara itu si tembok menikmati tubuhnya dilukisi taman bunga aneka warna, melebur merah darah dan putih pucat. Sang pelukis, bocah perempuan manis, berjoget senang.
Ia tak peduli kakak-kakaknya baku hantam. Ia hanya peduli masa depan.
Jakarta, 28 September 2020
Baca Juga:Â pisau patah dua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H