Sang bocah perempuan, Keisya Safiyah, berusia delapan tahun yang masih duduk di kelas 1 SD itu mungkin tidak pernah mengira jika ibunya, Lia Handayani, akan sedemikian marahnya hanya karena ia tidak paham pelajaran yang diajarkan melalui Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau pembelajaran daring.
Si ibu (berinisial LH dan berusia 26 tahun) mungkin juga tidak pernah berniat menghabisi nyawa salah satu anak kembarnya itu hanya karena sang anak berbeda dengan kembarannya yang lebih penurut dan pandai memahami pelajaran.Â
Namun, habisnya kesabaran dan luapan emosi kadang membuat segalanya berbeda, di luar kendali siapa pun, termasuk dirinya sendiri.
Sang bocah nahas, sebagaimana diberitakan Kompas.com, tewas meregang nyawa setelah sebelumnya harus menderita menerima bertubi-tubi kekerasan fisik dari ibu kandungnya sendiri. Antara lain, dengan tangan kosong dan menggunakan sapu.
Menurut keterangan kepolisian, pada 26 Agustus 2020, LH melakukan serangkaian tindak kekerasan terhadap buah hatinya itu karena kesal dan merasa anaknya itu sulit diajari dan susah diberitahu.
"Korban dicubit di bagian paha, selanjutnya dipukul dengan tangan kosong di bagian paha. Lalu si anak juga dipukul dengan gagang sapu dari kayu sebanyak lima kali di bagian kaki, paha, betis, dan tangan," ujar Kasatserse Polres Lebak AKP David Adhi Kusuma.
Masih menurut pejabat kepolisian di wilayah Banten tersebut, bahkan ketika korban sudah tersungkur lemas, LH tidak berhenti melakukan kekerasan, ia bahkan memukul kepala bagian belakang anaknya tiga kali dengan sapu.
Ironisnya, sang ayah, Imam Syafi'ie (berinisial IS dan berusia 27 tahun) yang semula menegur istrinya karena memukuli anaknya, belakangan, setelah mengetahui puterinya tewas, justru berkomplot dengan istrinya untuk menghilangkan jejak pembunuhan tersebut.Â
Mereka kemudian langsung membawa jasad sang anak dengan sepeda motor menuju daerah Lebak, Banten, yang berjarak sekitar 110 km (sekitar 3 jam perjalanan) dari rumah kontrakan mereka di Larangan, Kota Tangerang.Â
Jasad sang anak kemudian dikuburkan diam-diam di sebuah liang berkedalaman sekitar setengah meter di TPU Gunung Kendeng, Lebak. Masih dalam kondisi berpakaian lengkap seperti saat disiksa ibunya.
Namun, seperti kata pepatah, sepandai-pandainya menyimpan bangkai maka bau busuknya akan tercium juga.
Tiga pekan kemudian, pada 12 September 2020, warga setempat yang merasa heran akan kehadiran kuburan baru yang tak dikenal berinisiatif membongkarnya dan melaporkan penemuan jasad tersebut kepada kepolisian setempat.Â
Dari situlah penyelidikan polisi dimulai. Dan dari situlah terkuak kasus tragis nan memilukan di mana seorang ibu tega menghabisi nyawa anak kandungnya, yang notabene darah dagingnya sendiri.
Di sinilah kita mungkin mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya, "Ada apa ini?"
Tidakkah si ibu tahu bahwa anak bukanlah hak milik atau investasi yang leluasa diperlakukan seenak hati? Ia adalah amanah Tuhan. Seperti kata Khalil Gibran dalam salah satu larik syair legendarisnya,"anakmu bukanlah anakmu. Ia adalah milik kehidupan."
Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad SAW pernah menegur seorang ibu yang memarahi anaknya dengan kasar karena mengencingi baju sang Nabi.
Tetapi sang Nabi justru menegur sang ibu. "Noda di bajuku ini dapat segera hilang, tapi tidak demikian dengan luka hati anakmu," tuturnya dengan lembut dan bijak.
Di kesempatan lain, Khalifah Umar Ibnu Khattab bertanya keheranan ketika seorang sahabatnya merasa lebih "jantan" daripada sang khalifah, yang dikenal berperawakan besar dan jago perang, karena tidak pernah mencium anaknya.
"Bagaimana mungkin kau ini dapat dikatakan beriman? Bukankah Allah sendiri mencintai kelembutan? Aku sendiri mencium anak-anakku. Rasulullah pun amat menyayangi anak-anak dan cucunya. Bahkan ia rela memanjangkan rukuknya tatkala sang cucu bermain-main di punggungnya."
Sementara Imam Ghazali dalam kitab mahakaryanya berjudul Ihya 'Ulumuddin menuliskan bahwa "anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah permata yang sangat mahal harganya.Â
Jika dibiasakan pada kejahatan dan dibiarkan lepas seperti hewan, ia akan celaka dan binasa. Sedang memeliharanya adalah dengan upaya pendidikan dan pengajaran akhlak yang baik".
Korban nyawa pertama dalam sistem PJJ
Namun tragedi terbunuhnya Keisya, bocah kelas satu SD, ini barangkali bukanlah sepenuhnya kesalahan LH sebagai orang tua dari sang bocah malang.
Ada yang menyoal bahwa tragedi itu juga bukti ketidaksiapan mental pasangan suami istri (pasutri) yang menikah dini. Jika puteri mereka yang tewas berusia 8 tahun, maka dipastikan pasutri LH dan IS setidaknya menikah pada usia 18 dan 19 tahun. Sebuah batasan usia pernikahan yang teramat muda.
Di saat rekan-rekan seangkatan mereka baru menapak jenjang kuliah, mereka justru menempuh tahapan kehidupan berumah tangga. Diduga faktor ketidaksiapan mental psikologis, dan mungkin faktor ekonomi, menjadi penyebab betapa tipisnya lapisan kesabaran LH sebagai seorang ibu dalam menghadapi buah hatinya.
Terlepas dari apa pun motif dan persoalan lain yang merundung LH sebagai pelaku pembunuhan anak kandungnya sendiri, sejatinya telah tercatatlah dalam sejarah kelam pendidikan di negeri ini tentang jatuhnya korban nyawa pertama akibat sistem pembelajaran daring atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), yang sebelumnya dikenal dengan istilah School From Home atau Bersekolah Dari Rumah.
"Sejatinya telah tercatatlah dalam sejarah kelam pendidikan di negeri ini tentang jatuhnya korban nyawa pertama akibat sistem pembelajaran daring"
Dan LH mau tak mau adalah orang yang bakal dikenang kontribusinya dalam menorehkan catatan kelam tersebut. Suka atau tidak suka. Setuju atau tidak setuju. Seberapa pun banyak orang yang berupaya memaklumi dan membela si ibu muda tersebut.
Sementara itu, secara tidak langsung, tragedi terbunuhnya bocah malang di Tangerang tersebut merupakan bukti ketidaksiapan pemerintah menangani kendala PJJ.
Di Facebook, saya pernah menuliskan status tentang dilema PJJ: "Kelamaan belajar daring bikin pendaringan kering. Tapi nekat belajar tatap muka alamat nyetor nyawa."
Tapi ternyata belajar daring pun berisiko kehilangan nyawa juga. Persis seperti apa yang dialami Keisya, sang bocah malang dari Tangerang tersebut.
Baca Juga:Â Â https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5f4eb1a9097f364b2f01e9c2/perawan-itu-mutlak-atau-pilihan
Mereka juga korban
Menteri Pendidikan Kebudayaan Nadiem Makarim, sebagaimana dilansir CNBC Indonesia pada 7 Agustus 2020, sempat mensinyalir beberapa kendala pelaksanaan PJJ, antara lain kesulitan guru dalam mengelola PJJ yang masih terfokus pada penuntasan kurikulum. Alhasil, beban pelajaran atau tugas sekolah yang diberikan bagi para siswa kian banyak.Â
Sementara, kendala lainnya, tidak semua orang tua mampu mendampingi anak-anak belajar di rumah dengan optimal karena harus bekerja atau pun tidak punya kemampuan sebagai pendamping belajar anak.
"Para peserta didik juga mengalami kesulitan berkonsentrasi belajar dari rumah serta meningkatnya rasa jenuh yang berpotensi menimbulkan gangguan pada kesehatan jiwa," ujar Nadiem Makarim yang juga mantan pendiri dan CEO aplikasi transportasi daring terbesar di Indonesia tersebut.
Nah, di sinilah barangkali LH dan puterinya dapat dikatakan sebagai "korban".
LH, dengan keterbatasan waktu sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus dua anak kembarnya dan juga suaminya di samping rutinitas pekerjaan domestik atau rumah tangga dan juga keterbatasan kesiapan psikologis sebagai orang tua, harus juga mengurus dan membantu anak-anaknya dalam pembelajaran daring.
Sementara sang anak mungkin juga tertekan karena dalam usianya yang masih tergolong usia golden year harus menjalani pembelajaran daring di rumah dikarenakan panjangnya periode pandemi COVID 19 ini. Tidak seleluasa ketika belajar secara konvensional di sekolah sebagaimana kodrat anak-anak seusianya yang masih dan harus banyak bermain sebagai bagian dari pendewasaan psikologis dan emosionalnya.
Maka, karena telah jatuh korban nyawa pertama akibat pembelajaran daring, harus tunggu apalagi, wahai para pemimpin negeri?
Wahai para birokrat, politisi dan para pemimpin negeri tercinta ini, segeralah bekerja serius bekerjasama mengatasi pandemi ini tanpa banyak berseteru atau bersilang sengketa sesama Anda yang tidak perlu!
Segeralah bergandeng tangan dan susun tindakan pencegahan secepatnya agar kejadian serupa tidak berulang dalam waktu dekat atau dalam waktu yang akan datang!
Jangan sampai dan tidak boleh lagi Anda menunggu jatuhnya korban nyawa bocah-bocah malang lainnya hanya agar hati nurani Anda tergerak untuk serius melawan Covid-19.Â
Karena satu, dua, atau seribu atau bahkan sejuta nyawa anak yang melayang bukanlah sekadar angka atau nominal statistik belaka. Mereka adalah kuncup-kuncup bunga penghias masa depan taman bangsa ini.
Jangan biarkan mereka layu sebelum berkembang atau gugur sebelum waktunya.
Jakarta, 15 September 2020
Referensi:
1. Regional Kompas
2. CNBC Indonesia
Baca Juga:Â Â https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5f50c43d097f36738205c244/tolong-jangan-bunuh-anjay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H