Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wahai Calon Ayah, Pilih Mozart atau Murottal untuk Bayimu?

9 September 2020   17:26 Diperbarui: 10 September 2020   00:01 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin demikian pertanyaan yang bergelayut di benak Anda saat ini.

Itu juga yang ada di pikiranku saat itu, ketika istriku mengandung anak pertama kami sekian tahun lalu, pada 2008.

"Bang, ada CD Efek Mozart untuk bayi nih, beli tidak?"

 Sebuah suara lembut menyapaku di tengah kesibukan rutin kantor siang itu. 

Dari keriuhan di sekelilingnya, sepertinya si Suara Lembut sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan. Paginya ia memang minta izin padaku untuk pergi menengok rekannya yang melahirkan. Mungkin mampir ke mall adalah agenda sampingannya.

"Berapa harganya?" tanyaku sambil terus mengetik. 

Siang itu tenggat terjemahan sedang menghentak-hentak. Sang empu suara lembut tersebut, istriku, menyebutkan bilangan sekian puluh ribu rupiah. Dengan cepat otakku mengkalkulasi budget pada tanggal tua.

"Lumayan juga ya. Tapi, ya udah, beli aja."

"Gak papa nih?"

"Gak papa. Namanya juga buat anak."

"Iya deh."

Percakapan via telpon pun berakhir dengan ending saling kecup mesra dan mantera luv you.  

Tapi, sorenya, sepulang dari kantor, aku tidak mendapati CD tersebut. Istriku minta maaf dan mengutarakan alasan yang khas ibu-ibu saat tanggal tua,"Sayang ah uangnya. Mending buat belanja."

Melihat aku terdiam, sebetulnya bukan marah tapi karena kecapekan kerja, ia menambahkan,"Kan tiap hari udah dibaca-bacain. Iya kan?"

Maksudnya, dibacakan ayat-ayat suci Al Qur'an. 

Tiap hari, terutama malam hari sebelum tidur, aku memang membiasakan rutin mengaji di depan istriku, sambil mengelus-elus perut besarnya yang mengandung buah cinta kami.

Aku tersenyum. 

Ah, Si Cantik ini masih ingat saja "kuliah" yang aku sampaikan padanya di awal kehamilannya lima bulan lalu. 

Rasanya sejak kehamilannya masih berusia tujuh minggu, ketika ia memutuskan berhenti kerja sebagai petugas call center sebuah perusahaan telekomunikasi, teramat banyak "ceramah" dan "kuliah",  ia menyebutnya demikian,  yang aku sampaikan, yang kadang aku sendiri tak ingat persisnya. Mungkin karena saking rewelnya aku saat itu. Ada ceramah soal pentingnya ia makan nasi dan tak cuma ngemil, pentingnya sholat Dhuha hingga "kuliah" agar ia merutinkan baca sholawat Nariyah dan wirid Asmaul Husna setiap hari dll.

Alhasil, frekuensi tilawah (membaca Al Qur'an) kami pun bertambah. Setiap malam sebelum tidur, saat si Dedek aktif bergerak-gerak, aku bisikkan hafalan surah-surah pendek sambil mengusap-usap perut istriku. Yah, sebut saja terapi Efek Murottal (bacaan Qur'an). 

Terapi Efek Murottal ini terinspirasi dari sebuah artikel di majalah Islam yang menggagas terapi tersebut bagi kalangan Muslim sebagai pengganti tren musik Mozart yang belakangan ini digandrungi sebagai sarana "pendidikan" anak sebelum dilahirkan. Karena pendidikan anak manusia sejatinya berlangsung jauh sebelum ia masuk playgroup atau TK bahkan ketika masih dalam kandungan. Ada masa golden age (0-7 tahun) dalam pertumbuhan seorang anak yang teramat sayang untuk diabaikan.

Sementara tren Efek Mozart sendiri, yang mengabadikan nama Wolfgang Amadeus Mozart, mulai booming di Indonesia dengan diawali sebuah buku, yang terjemahan bahasa Indonesianya, berjudul Efek Mozart. Konon, diyakini, musik klasik dengan komposisi musik yang khas mampu merangsang sel-sel otak janin yang sedang bertumbuh dalam kandungan. 

Bahkan, di sebuah rumah sakit swasta tempat istriku biasa memeriksakan kandungan, sang dokter sempat memutarkan lagu klasik bernada ceria untuk merangsang respons si Dedek. Di layar USG, si janin pun tampak bergoyang-goyang aktif plus lucu. Alhamdulillah, pertanda ia normal, itu kata sang dokter berjilbab yang keibuan.

Sebagai orang yang berpandangan eklektik (catatan: berpikir terbuka dan inklusif), aku tidak mengharamkan musik klasik. Namun, tentu ada prioritas dan prinsip yang dikedepankan. Untuk penanaman nilai bagi calon putera atau puterinya, tiap orang tua tentu cenderung mengambil sumber nilai dari sistem nilai yang paling dekat atau yang paling diyakininya, semisalnya nilai-nilai agama.

Tiap orang tua atau calon orang tua pasti punya pilihan atau preferensi tersendiri. Karena, pada hakikatnya, orangtualah yang mewarnai jiwa atau kepribadian anak semenjak dalam kandungan. 

Seorang anak memang punya potensi kesucian (taqwa) atau kejahatan (fujur) yang semuanya tergantung pada peran orangtua baik untuk mengentaskan (baca: mengangkat ke derajat lebih tinggi) atau justru membuatnya terhempas hingga menjadi sederajat dengan hewan (baca: tak berperikemanusiaan atau tak berkepribadian alias bobrok moral).

Tak heran, dalam Islam, beberapa kewajiban orang tua kepada anak adalah mencarikan calon ibu atau ayah yang baik untuk anaknya dan mengajarinya membaca Al-Qur'an. Khusus yang terakhir itu, terselip doaku agar sang anakku kelak menjadi penghafal Al Qur'an (hafiz atau hafizah).

Namun, jika orang bijak bilang, manusia hidup karena adanya harapan, maka harapan itu terus kupupuk setidaknya dalam doa. Barangkali sama seperti harapannya orang tua Muhammad Al Fatih (sang pembebas Konstantinopel dalam usia 23 tahun) ketika mengasuh sang pejuang dengan cerita-cerita perjuangan para leluhurnya setiap malamnya.

Jadi, singkatnya dan akhir kata, saat itu aku memilih, lebih tepatnya, memprioritaskan Efek Murottal. 

Lantas bagaimana dengan Efek Mozart? 

Rasanya boleh juga. 

Toh, semasa SMA, aku pendengar setia radio Classic FM (sebuah radio di Jabodetabek saat itu yang khusus memutar musik klasik) di malam hari dan kerap tertidur dininabobokan Beethoven dll. Kendati teramat jauh jika digolongkan sebagai classics freak. 

Kontradiktifkah? Wong, aku juga penikmat musik yang eklektik kok!

Akhirul kalam, apa pun metode yang Anda pilih, bagi para calon ayah atau calon orang tua atau yang berniat menjadi orang tua, mari lantunkan doa: Rabbana hablanaa min azwajina wa zurriyatina qurrota a'yun wa ja'alnaa lil muttaqiina imaama. 

Ya Allah, ya Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami pasangan dan keturunan yang menjadi bola mata (penyedap hidup) kami dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.

Amin, allahumma amin!

Jakarta, 9 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun