Hiruk pikuk seputar kata "anjay" berawal dari pengaduan Youtuber Lutfi Agizal (yang juga kekasih puteri pedangdut Iis Dahlia) kepada KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan Komnas PA (Komisi Nasional Perlindungan Anak) tentang kata "anjay" yang dianggap dapat merusak moral bangsa terutama moral anak-anak. Disinyalir pengaduan tersebut mengarah pada kebiasaan Rizky Billar, seorang selebritas muda yang tengah naik daun karena kisah putus cintanya yang melodramatis, yang dianggap kerap mengumbar kata "anjay" di media sosial.
Di saat Retno Listiyarti (sebelumnya dikenal sebagai guru dan aktivis advokasi pendidikan) dkk dari KPAI yang notabene sebuah lembaga resmi negara lebih memilih menunggu hasil kajian sebelum merespons pengaduan tersebut, Ariest Merdeka Sirait, ketua Komnas PA yang merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) independen, trengginas merespons pengaduan tersebut dengan mengeluarkan surat edaran, yang kemudian viral, yang pada intinya berupa imbauan pelarangan kata "anjay".
Lebih lanjut lagi, Ariest menandaskan bahwa penggunaan kata "anjay" yang bertendensi penghinaan dan perendahan martabat berpotensi pemidanaan dengan ancaman hukuman lima tahun penjara berdasarkan Pasal 81 UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Sebagai alternatif, Ariest menganjurkan, jika "anjay" dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi atau pujian, menggunakan kata pengganti yang lebih positif seperti "keren" atau "salut".
Terlepas dari apa pun motif pengaduan Lutfi Agizal, yang kabarnya juga berkawan dengan Rizky Billar, apakah karena kecemburuan karier atau panjat sosial (pansos) yang didengungkan di media sosial, di satu sisi, kita patut mengapresiasinya karena, sedikit banyaknya, telah membuka ruang diskusi publik yang menarik perihal penggunaan dan dampak suatu kata terhadap kehidupan masyarakat.
Secara tidak langsung, publik tersadarkan dan tercerdaskan lewat perdebatan argumentatif yang ada di media termasuk berbagai platform media sosial. Kendati disayangkan tensinya belakangan lebih meruncing pada perkubuan pro-kontra seputar kata "anjay".
Di sisi lain, kita juga layak angkat jempol pada Komnas PA yang sigap merespons pengaduan Lutfi yang mungkin terkesan receh atau trivial bagi sebagian kalangan.
Sayangnya, dalam hal ini, Komnas PA kelewat terfokus pada kontroversi kata "anjay" yang diadukan Lutfi alih-alih mencoba melebarkan perspektif lebih luas dalam memandang masalah ini secara lebih komprehensif.
Jika seorang milenial, dengan kemudaan dan kesederhanaan wawasannya, seperti Lutfi Agizal sekadar melaporkan kata "anjay" yang menurutnya mendegradasi moral bangsa, hal itu dapat dimaklumi. Yang sulit dimengerti mengapa seorang Ariest Merdeka Sirait, sang aktivis advokasi hak anak kawakan, yang kenyang pengalaman hidup dan lebih luas wawasannya, sekadar menuruti langgam aduan tersebut?
Dan, naifnya, solusi yang ditawarkan Komnas PA pun terkesan trivial bahkan terkesan menggelikan, yakni mengimbau pelarangan kata "anjay" hanya agar anak-anak, sebagaimana dikhawatirkan Lutfi, tidak latah ber-anjay anjay ria. Konyolnya, ditambahi pula dengan ancaman kriminalisasi untuk kata "anjay".