Simpel namun dalam maknanya.
Jika para gadis konsekuen mengamalkan ucapan tersebut dalam pengertian sebenarnya, niscaya mereka tidak sekadar technically virgin (secara teknis perawan) karena tubuhnya sudah dijamah karena etos "sedikit bicara banyak kerja" yang populer dalam kamus umum bebogohan (baca: pacaran) era modern. Tapi juga mereka dapat berbangga sebagai originally virgin (perawan tulen atau perawan tingting).
Namun soal keperawanan juga persoalan ekstremitas.
Di satu kutub, sebagian orang mengagungkan keperawanan dalam pemaknaan yang sempit seperti dalam tradisi "pengarakan kain pada malam pertama" di jazirah Arab yang dilukiskan secara apik dalam novel El Saadawi.
Di kutub yang lain, sebagian orang menggampangkan keperawanan seperti gampangnya orang buang hajat. Diobral atau bahkan dilelang. Dalam varian kutub ini, keperawanan diperlakukan sebagai hal yang relatif. Sebagaimana relatifnya sebagian anak muda memaknai pernikahan atau perkawinan.
Dua kata yang bahkan dalam undang-undang atau dokumen negara dapat saling dipertukarkan dan dianggap sama maknanya itu ternyata dapat ditafsirkan berbeda, bahkan secara diametral. Kendati barangkali dalam level guyonan belaka.
"Sudah kawin?"
"Kawin sudah, nikah belum."
"Lho, apa bedanya?"
"Kawin pakai urat, nikah pakai surat."
Ketika segala sesuatu direlatifkan maka ia menjadi conditional atau bersyarat. Kabur dan ambigu.