Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Duel Mata Hati dan Mata Kepala

31 Agustus 2020   17:21 Diperbarui: 31 Agustus 2020   17:40 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi "mata"/Sumber: Shutterstock.com

Di awal bekerja di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, pada 2010, pernah suatu kali saya terlambat ngantor karena ketinggalan kereta.

Di pagi berhujan deras itu, KRL (Kereta Rel Listrik) Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi) jurusan Tanah Abang datang lebih cepat 10 menit dari jadwal semestinya pada pukul 07.50 WIB.

Kendati saya sudah lari sprint 200 meter daari ujung peron untuk mengejarnya, tetap saja si KRL meninggalkan saya tanpa ampun.

Ah, jadi teringat judul film lawas Pacar Ketinggalan Kereta!

Tapi hidup, terlebih lagi di ibukota, tak boleh gampang menyerah. Sel-sel otak harus diputar dan diulur hingga panjang akal jadinya.

Setelah memutar otak, saya memutuskan untuk menuju kantor saya, sebuah firma hukum, dengan terlebih dulu naik KRL jurusan Kota. Karena KRL jurusan Tanah Abang , yang sejalur dengan rute ke kantor, baru ada setengah jam lagi. Rencananya, saya akan transit di Stasiun Kota dan menyambung naik Traja dari Stasiun Kota ke arah Sudirman.

Sesuai rencana, perjalanan ke Kota lancar. Namun rasanya terlalu mudah hidup di Jakarta jika terlalu mudah seperti itu adanya. Bus Transjakarta, lazim disebut Busway atau Traja, saat itu tak muncul-muncul hingga nyaris dua puluh menit.

Padahal, menuju ke Sudirman, saya harus naik Traja dari Kota hingga halte Dukuh Atas. Antrean pun mengular hingga ke ujung pintu masuk halte.

Syukurlah, ketika saya mulai berdiri terkantuk-kantuk dengan ransel besar di dada dan punggung pegal didesak-desak antrean, Traja pun datang.

Saat masuk bus, terpaan hawa sejuk dari air conditioning (AC) Traja menyejukkan badan meski hati masih gondok. Terbayang saya harus mengabsen dengan sistem sidik jari (finger print) di bawah tatapan teman-teman kantor. Terlambat 1,5 jam gitu lho!!

Setelah merelakan tempat duduk saya kepada seorang biksuni etnis Tionghoa (ia juga berucap,"Xie xie"), saya berdiri di dekat jendela bus. Menikmati pemandangan deretan arkade khas paduan budaya Belanda dan Tionghoa di sepanjang jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, yang berdekatan dengan kawasan Kota Tua Jakarta.

Selepas Harmoni, ketika Traja melambat karena terhalang belasan motor dan mobil pribadi di depannya, tampak pemandangan ganjil, bagi saya. Di bawah halte, tampak seorang gelandangan berkaus lusuh robek-robek berwudhu dengan air kali yang hitam dan berbau busuk.

Di sepanjang Jalan Gajah Mada hingga Harmoni mengalir Kali Mookervart, yang merupakan kanal warisan peninggalan penjajah Belanda yang terobsesi menjadikan Jakarta sebagai "kota air" atau "kota 1000 kanal" seperti Amsterdam di Belanda dan Venesia di Italia.

Dari gerakan wudhunya yang tak beraturan, saya duga ia kurang waras. Kemudian si gelandangan, di atas lembaran kardus, melakukan gerakan sholat, yang juga berantakan. Namun ia melakukannya dengan khusyuk kendati banyak mata tertuju kepadanya. Mungkin tatapan disertai beragam perasaan: jijik, kasihan atau iba.

Semula saya bergidik melihat ia berwudhu dengan air kali yang bukan saja tak menyucikan tapi juga sangat kotor dan bau. Yang ada di kepala saya adalah betapa malangnya orang itu, yang harus sholat dalam kondisi memprihatinkan dan dengan pengetahuan sholat yang terbatas pula. Kendati, jikalau ia orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), ia toh terbebas dari kewajiban sholat lima waktu.

Tapi, Allah Maha Adil, si gelandangan rupanya adalah prisma, di mana setiap orang dapat melihat keindahannya dalam berbagai sisi yang berbeda.

Seorang bapak etnis Tionghoa, yang berdasi dan menenteng tas koper, yang berdiri di samping saya tampak terkagum-kagum melihat si gelandangan.

Ia mencolek lengan petugas pengaman Traja yang berdiri di depannya.

"Eh, kamu lihat itu? Hebat ya dia!" puji si Engkoh. "Jarang-jarang orang kayak gitu di jaman sekarang. Tetap berusaha sholat."

Saya tertegun. Merasa tertampar. Mengapa saya tidak melihat si gelandangan dari sisi yang sama seperti yang dilihat si Engkoh, yang tampaknya seorang non-Muslim, itu?

Mengapa yang saya lihat adalah gelandangan malang dan kurang waras yang sholat sembarangan?

Mengapa bukan seorang hamba Allah yang berusaha menegakkan sholat dengan ikhlas dengan segala keterbatasannya?

Ah, mata hati dan mata kepala memang kadang melihat berbeda. Mereka kerap berduel tentang apa yang dilihat dan perbedaan tafsir pemaknaannya.

Jakarta, Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun