Di awal bekerja di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, pada 2010, pernah suatu kali saya terlambat ngantor karena ketinggalan kereta.
Di pagi berhujan deras itu, KRL (Kereta Rel Listrik) Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi) jurusan Tanah Abang datang lebih cepat 10 menit dari jadwal semestinya pada pukul 07.50 WIB.
Kendati saya sudah lari sprint 200 meter daari ujung peron untuk mengejarnya, tetap saja si KRL meninggalkan saya tanpa ampun.
Ah, jadi teringat judul film lawas Pacar Ketinggalan Kereta!
Tapi hidup, terlebih lagi di ibukota, tak boleh gampang menyerah. Sel-sel otak harus diputar dan diulur hingga panjang akal jadinya.
Setelah memutar otak, saya memutuskan untuk menuju kantor saya, sebuah firma hukum, dengan terlebih dulu naik KRL jurusan Kota. Karena KRL jurusan Tanah Abang , yang sejalur dengan rute ke kantor, baru ada setengah jam lagi. Rencananya, saya akan transit di Stasiun Kota dan menyambung naik Traja dari Stasiun Kota ke arah Sudirman.
Sesuai rencana, perjalanan ke Kota lancar. Namun rasanya terlalu mudah hidup di Jakarta jika terlalu mudah seperti itu adanya. Bus Transjakarta, lazim disebut Busway atau Traja, saat itu tak muncul-muncul hingga nyaris dua puluh menit.
Padahal, menuju ke Sudirman, saya harus naik Traja dari Kota hingga halte Dukuh Atas. Antrean pun mengular hingga ke ujung pintu masuk halte.
Syukurlah, ketika saya mulai berdiri terkantuk-kantuk dengan ransel besar di dada dan punggung pegal didesak-desak antrean, Traja pun datang.
Saat masuk bus, terpaan hawa sejuk dari air conditioning (AC) Traja menyejukkan badan meski hati masih gondok. Terbayang saya harus mengabsen dengan sistem sidik jari (finger print) di bawah tatapan teman-teman kantor. Terlambat 1,5 jam gitu lho!!