Ini nostalgia obrolan santai pasutri jelang putera pertama mereka lahir.
"Wah, kalo si dedek lahir di pesisir Kalianda, pasti deh Ki Panggar muncul!" celetuk istriku, setengah bercanda.
Kalianda adalah nama sebuah kabupaten di wilayah Lampung Selatan, yang merupakan kota terdekat setelah Pelabuhan Bakauheni di ujung paling timur pulau Sumatera. Ibu mertuaku berasal dari kota kecil itu sementara ayah mertua dari Palembang, Sumatera Selatan.
"Ki Panggar?" tanyaku serius, benar-benar tidak paham.
Sebagai anak Betawi asli, aku tidak cukup nyambung dengan celetukan istriku itu.
Maka malam itu mengalirlah panjang lebar cerita tentang Ki Panggar. Sebaliknya aku pun menceritakan kisah dari tanah kelahiranku mengenai Ki Goyot, sosok yang serupa dengan Ki Panggar. Malam itu, di atas ranjang, terjadilah pertukaran budaya, selain pertukaran cinta dan yang lainnya.
Ketika kita menikah, bukan hanya suami atau istri serta keluarga besarnya yang harus dikawini atau dinikahi. Tetapi juga budaya daerah kelahirannya. Barangkali itulah hikmah mengapa dalam perintah menikah dalam Al Qur'an disinggung soal "kenal mengenal antara suku bangsa".
Ki Panggar
Di pesisir Kalianda, Lampung Selatan, kabarnya ada mitos tentang Ki Panggar. Â Sosok mitologis ini akan muncul jika ada anak keturunannya yang lahir ke muka bumi. Barangkali dalam rangka menyambutnya.
Ki Panggar adalah macan kumbang berwarna hitam yang konon disebut-sebut sebagai salah satu penjaga Radin Inten.
Radin Inten II, yang juga pahlawan nasional Indonesia, adalah pangeran dari Keratuan Darah Putih, yang berpusat di Kalianda (ibu kota Lampung Selatan), yang gigih melawan penjajahan Belanda.