Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Liberalisasi dan Rezim RI Laksana Koin Dua Sisi

21 Juni 2020   23:56 Diperbarui: 22 Juni 2020   00:04 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Liberalisasi dan pemerintahan Republik Indonesia (RI) adalah koin dua sisi. Keduanya saling berkaitan dan melengkapi. Tidak terpisahkan. Hal ini kentara dalam berbagai kebijakan para penyelenggara negara ini sejak dahulu, khususnya di bidang ekonomi.

Fenomena tersebut adalah karena rezim pemerintahan Indonesia dari masa ke masa telah menempatkan ekonomi sebagai ideologi, bukan saja sekadar sebagai panglima. Inilah yang dapat dibaca sebagai persambungan ideologi pembangunan era Orba yang merupakan anti-tesis dari "politik sebagai panglima" yang dijunjung Orde Lama.

Menganggap wajar ekonomi sebagai ideologi melalaikan satu hal penting: logika pasar dan persaingan bebas merupakan rasionalitas ideologis kapitalisme liberal. Jadi, hanyalah rasionalitas sebuah ideologi tertentu belaka. Menganggapnya sebagai kewajaran, mempersempit ragam nasionalitas alternatif kita, bahkan memerosotkan kritisisme dan obyektivitas metodologis menyeluruh kita karena telah menganggapnya sebagai semacam "metabahasa" (Parekh: 2003). Inilah yang disebut Parekh sebagai false consciousness, kesadaran palsu.

Secara ideologis, seperti termaktub pada Pasal 33 UUD 1945, ekonomi tidak dapat ditempatkan sebagai ideologi, apalagi pada perkara-perkara yang menyangkut hajat hidup orang banyak semacam ini. Penguasaan negara terhadap bumi, air, dan segenap kekayaan di dalamnya dalam konteks ini, haruslah berada dalam kerangka sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena rasionalitas ideologi tidak boleh terpasung pada logika ekonomi semata karena perwujudan gambaran kolektif ideal kita sebagai bangsa dan eksistensi dan martabat sebuah bangsa jauh lebih penting daripada kalkulasi ekonomi.

Sebagai contoh, di era SBY, ketika terjadi penolakan publik atas keputusan DPR yang menambahkan Pasal 7 Ayat 6A pada UU APBN 2012 yang memberikan kebebasan bagi pemerintah untuk menaikkan atau menurunkan harga BBM bersubsidi jika dalam waktu enam bulan berjalan, harga minyak mentah dunia melampaui 15 persen di atas atau di bawah asumsi APBN. Respons penolakan itu memang sudah sewajarnya. Karena pasal tersebut sejatinya merupakan eufemisme terhadap rasionalitas pasar dari UU Migas No. 22/2001 Pasal 22 Ayat 2 (baca: "mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar") yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2004.

Itu hanya salah satu dari sekian banyak kebijakan liberal rezim pemerintah RI yang melemahkan semangat kemandirian ekonomi bangsa yang terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 yakni "cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara" (Pasal 33 Ayat 2) dan "bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" (Pasal 33 Ayat 3). Semangat berdikari warisan para pendiri bangsa (founding fathers) ini sepertinya kian terlupakan ditelan arus liberalisme ekonomi.

Jika ditelusuri, hulu persoalan BBM hingga saat ini, termasuk di era Jokowi, adalah akibat kebijakan liberalisasi pemerintah.

Ilustrasinya, setelah periode finansial, perusahaan bebas mengakses utang dari luar negeri. Maka perusahaan-perusahaan di Indonesia berlomba-lomba meminjam utang jangka pendek dan dalam bentuk mata uang asing. Ketika terjadi fluktuasi nilai tukar, maka banyak perusahaaan yang tidak mampu membayar kembali. Neraca perusahaan-perusahaan mengalami masalah serius.

Buruknya kondisi neraca perusahaan bisa dengan segera merembet pada neraca perbankan, karena banyak kredit tidak bisa kembali akibat macetnya neraca korporasi. Maka neraca perbankan segera mengalami pemburukan.

Buruknya neraca bank mengancam kelangsungan sektor perbankan itu sendiri. Maka pemerintah harus turun tangan menyelamatkan perbankan dengan menguras cadangan likuiditas di neraca pemerintah. Maka, buruknya neraca perbankan merembet pada buruknya neraca pemerintah. Pemerintah harus berutang dalam jumlah besar, serta mengurangi berbagai subsidi dan pengeluaran yang secara rutin disalurkan untuk kepentingan publik.

Di Indonesia, salah satu beban berat anggaran pemerintah adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik kepada masyarakat. Seiring dengan memburuknya neraca pemerintah maka subsidi harus dikurangi secara amat signifikan. Pada titik itu, buruknya neraca pemerintah segera menjalar pada neraca rumah tangga yang diakibatkan oleh memburuknya daya beli akibat pengurangan subsidi (Prasetyantoko: 2008).

Kenaikan harga BBM sebenarnya dapat dihindari jika pemerintah mampu mengelola dan menerapkan strategi perminyakan dan gas nasional dengan benar. Negara ini telah merdeka puluhan tahun tetapi mayoritas pertambangan migas dikuasai asing.

Pertamina, BUMN yang seharusnya jadi alat negara untuk mengontrol cadangan dan produksi migas nasional, hanya menguasai tidak lebih dari 10 persen dari 275 wilayah kerja pertambangan migas.

Sejak pemberlakuan UU Migas, pemerintah hampir tiap tahun melanggar UU karena produksi minyak siap jual (lifting) sebagaimana ditetapkan UU APBN tak pernah mencapai target. Anjloknya  lifting berarti lonjakan impor dan subsidi yang membebani keuangan negara.

Tidak hanya itu. Gelombang liberalisasi juga merasuki bidang hukum di negeri ini.

Produk undang-undang yang berpihak pada kapitalisme (pro-bisnis) dan tidak pro-rakyat kecil atau wong cilik serta maraknya kasus koruptor yang dibebaskan di pengadilan atau dikenakan vonis hukuman ringan atau kejahatan-kejahatan perdata dan pidana lainnya yang menguntungkan kalangan berada (the haves) dan cenderung menghukum berat kalangan papa atau proletar (the have not) adalah fakta bahwa liberalisasi telah lama menggerogoti tiang hukum kita.

Termasuk dalam hal ini, di era saat ini, disahkannya revisi UU KPK yang dinilai melemahkan kinerja dan integritas lembaga anti-rasuah tersebut dalam memerangi korupsi sebagai musuh laten bangsa ini.

Selain itu, fakta penolakan publik terhadap draf Omnibus Law dan berbagai produk legislasi lainnya yang dinilai kelewat pro-taipan dan merugikan kaum buruh adalah realitas yang tidak bisa diremehkan dalam menakar keadilan sosial di negeri ini.

Menurut Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH dalam Sisi-Sisi Lain Hukum di Indonesia, sistem hukum modern menjadi seperti sekarang ini karena tuntutan industrialisasi yang kapitalistis akan adanya suatu tatanan normatif yang mampu mendukung pola kerjanya yang rasional. Dan, sistem normatif (baca: hukum) yang dibutuhkan oleh suatu sistem yang juga mampu memberikan rasionalitas dan prediktabilitas dalam kehidupan ekonomi.

Kita telah lama melihat terjadinya sentralisme hukum negara dan tergusurnya jenis hukum, seperti hukum adat dan kebiasaan lainnya. Kalau toh jenis-jenis hukum itu masih berlaku di sana-sini maka itu semua terjadi karena "kebaikan hati" hukum negara (by the grace of state law).

Gabungan antara moralitas dan struktur dari sistem hukum yang demikian itulah yang diwariskan kepada dunia, oleh karena sistem tersebut sudah menyebar ke seantero dunia.

Benarlah apa yang dikatakan Max Weber bahwa hukum modern yang dipakai di mana-mana di dunia sekarang ini pada intinya mengabdi dan melayani masyarakat industri kapitalis.

Pengagungan ekonomi pasar secara berlebihan dengan menempatkan ekonomi sebagai ideologi yang memandang segala sesuatu di segala bidang sebagai komoditas ekonomi (baca: dapat diperjualbelikan atau dapat diuangkan) hanya menampakkan wujud liberalisasi sebagai monster yang mengerikan. Dan, yang ironis, hal tersebut dipertunjukkan secara telanjang oleh para penyelenggara negara kita.

Sekadar berandai-andai, jika Bung Karno, presiden pertama RI, dapat dilengserkan oleh MPRS pada 1967 karena pidato pertanggungjawabannya yang berjudul Nawaksara ditolak mayoritas anggota MPRS (yang diangkat oleh militer pro-Soeharto) karena tiga tuduhan pokok (yakni keterlibatan dalam G30-S PKI, kemerosotan ekonomi, dan kemerosotan akhlak), maka dengan salah satu alasan saja sebagai yurisprudensi, yakni kemerosotan dan kesenjangan ekonomi, maka siapa pun rezim penguasa Indonesia, saat ini atau yang akan datang, akan dapat dipaksa turun sebelum akhir periode kepemimpinannya.

Jagakarsa, 21 Juni 2020

Referensi:

1. Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang Publik, Dr. A. Prasetyantoko (Penerbit Buku Kompas, Jakarta, November 2008).

2. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. (Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Februari 2009).

3. UUD 1945 Amandemen I, II, III & IV, Tim Permata Press (Permata Press, Jakarta, Juni 2011).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun