Dua puluh dua tahun lalu, Mei 1998, saya masih mahasiswa tingkat dua di salah satu universitas negeri di Jakarta. Sebagai bagian dari pergerakan mahasiswa saat itu, saya terlibat dalam banyak aksi mahasiswa menuntut Reformasi, termasuk aksi pendudukan Gedung DPR/MPR-RI yang berujung pada turunnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Saya masih mengingat betul saat terjadi peristiwa penembakan yang menewaskan tiga mahasiswa Universitas Trisakti, yang kemudian ditahbiskan sebagai Pahlawan Reformasi, saya tengah mengikuti perkuliahan di Kampus Salemba, Jakarta.
Keesokan harinya, ketika berbagai kampus di Jabodetabek beraksi di kampus masing-masing mengecam tragedi tersebut, saya dan teman-teman terjebak dalam kerumunan massa yang menjarah pusat-pusat perbelanjaan di Jabodetabek, termasuk di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, di dekat Kampus Salemba.
Selepas mengikuti aksi kepedulian di Kampus Salemba sejak pagi hingga siang hari, kami hendak menuju Stasiun Cikini untuk pulang ke rumah masing-masing.Â
Namun, jalanan terblokir oleh kerumunan massa yang berbondong-bondong menjarah emas di pertokoan emas di Cikini, termasuk juga pusat perbelanjaan yang berseberangan dengan Stasiun Kereta Api Cikini. Api mengepul di mana-mana.
Namun ada yang aneh dengan pola pergerakan massa saat itu.
Sebelum terjadi penjarahan, ada sekelompok pemotor trail, tegap-tegap posturnya, berkaus preman dan berambut cepak, sebagian berhelm gelap, yang memblokir jalan raya depan Stasiun Cikini dengan formasi tertentu. Mereka melemparkan bom-bom molotov dan menghasut warga di jalan untuk menjarah pertokoan dan perkantoran di sekitar jalan. Dan kemudian kelompok pemotor itu menghilang dengan cepat saat massa mulai melakukan penjarahan.
Melihat kami, para mahasiswa berjaket kuning, terbengong-bengong di antara kerumunan, sebagian penjarah berteriak-teriak gembira, "Terima kasih, Mahasiswa! Terima kasih ya!"
Entah itu sindiran atau bentuk ekspresi kegembiraan rakyat yang kala itu lelah dirundung krisis ekonomi berkepanjangan setahunan, yang jelas kami tetap terpaku. Shock atau terguncang, tepatnya.
Pada waktu itu, setelah bersusah payah menerobos kerumunan, kami berhasil sampai di Stasiun Cikini. Saat itu hanya Kereta Rel Listrik (KRL) satu-satunya moda transportasi umum yang masih beroperasi.Â