Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi, Insubordinasi, dan Mala-administrasi

9 Mei 2020   06:48 Diperbarui: 9 Mei 2020   06:50 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Redefinisi tentang "mudik" dan "pulang kampung" terkait COVID-19 yang dilontarkan oleh Presiden Jokowi dalam acara gelar wicara (talkshow) Mata Najwa seakan dinegasikan oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam rapat kerja virtual dengan DPR pada Rabu, 6 Mei 2020.

Sang arsitek alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) kelahiran Sumatera Selatan tersebut tegas menyatakan, "Mudik dan pulang kampung itu sama dan sebangun. Jangan membuat itu dikotomi."

Padahal dalam acara Mata Najwa yang dipandu oleh Najwa Shihab, Jokowi yang notabene atasan Budi Karya Sumadi jelas-jelas menyatakan bahwa orang-orang yang kembali ke kampung halaman sebelum tanggal 24 April (saat dimulainya pelarangan mudik) itu hanya "pulang kampung", dan yang pulang kampung setelah 24 April itu namanya "mudik".

Para pendukung Jokowi, terutama kalangan intelektual, di beberapa kesempatan bahkan merasionalisasi redefinisi Jokowi tersebut dengan menambahkan bahwa "mudik" adalah pulang ke kampung halaman hanya untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran, sementara "pulang kampung" adalah kembali ke kampung untuk menetap selamanya, baik karena kalah bersaing kerja atau bisnis di ibu kota atau kota besar maupun karena alasan lainnya".

Lantas, apakah "pembangkangan" Menhub tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah "insubordinasi"?

Yang jelas, Menhub sebagai bawahan Jokowi yang paling bertanggung jawab dan paling tahu realitas di lapangan jelas tidak ingin menimbulkan kebingungan di kalangan anak buahnya di lapangan sewaktu menertibkan arus mudik di tengah pandemi COVID-19 ini.

Alangkah tidak lucunya ketika, misalnya, petugas Dinas Perhubungan (Dishub) merazia kendaraan pemudik yang menuju kampung, tapi mereka justru berdalih "kami tidak mudik, kami pulang kampung" sesuai apa yang diredefinisikan Jokowi.

Alhasil, Budi Karya pun memilih taat pada makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), alih-alih mematuhi redefinisi versi "kamus baru" Jokowi.

Apakah itu nantinya dapat disebut sebagai insubordinasi atau pembangkangan, mantan direktur utama PT Pembangunan Jaya Ancol itu mungkin telah berhitung atau punya keyakinan tersendiri bahwa atasannya toh akan memakluminya.

Baca Juga: Saat Denny Siregar Merisak Cucu SBY

Fetakompli dan Mala-administrasi

Dan bukan sekali itu saja, sebagai presiden, Jokowi mengalami fait accompli atau fetakompli yang dilakukan para menteri. Dalam pekan yang sama saja, setelah insubordinasi atau fetakompli yang dilakukan Menhub, pejabat setingkat menteri seperti Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) pun melakukan hal yang sama.

Presiden Jokowi "terpaksa" melantik Irjen Polisi Boy Rafli Amar sebagai Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada Rabu, 6 Mei 2020, yang penunjukannya dilakukan berdasarkan Telegram Rahasia Kapolri Idham Aziz kendati BNPT adalah lembaga di bawah presiden yang bertanggung jawab kepada presiden.

Alih-alih menetapkan Ketua BNPT, wewenang Kapolri sejatinya hanya mengusulkan pergantian dan calon pengganti Ketua BNPT kepada Presiden. Meskipun ketua BNPT memang selalu pejabat polisi,  namun, berdasarkan undang-undang, pejabat non-kepolisian pun bisa mengisi posisi tersebut. Dan itu semua adalah kewenangan presiden, bukan kapolri. Karena BNPT bukanlah lembaga di bawah kepolisian, dan ketua BNPT bukanlah anak buah langsung dari kapolri.

Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S.Pane, tindakan kapolri tersebut merupakan sebuah mala-administrasi (mal-administration).

"Telegram Rahasia Kapolri tentang penunjukan itu bisa dinilai sebagai tindakan melampaui wewenangnya. Untuk itu, Telegram Rahasia pengangkatan Boy Rafli sebagai Kepala BNPT itu harus segera dicabut dan dibatalkan," ujar dosen Universitas Indonesia tersebut.

Namun Telegram Rahasia itu kadung dikuatkan dengan keputusan presiden (keppres) Jokowi yang membuahkan pelantikan Irjen Boy Rafli Amar sebagai ketua BNPT yang baru menggantikan Alisius Suhardi dan berlangsung di di Istana Negara.

Memang butuh nyali dan keyakinan besar untuk melakukan fetakompli yang sukses.

Namun tampaknya Kapolri Idham Aziz, sang perwira polisi kelahiran Sulawesi Selatan yang dikenal keras dan tegas, punya keyakinan kuat bahwa toh pada akhirnya Jokowi akan merestui tindakannya tersebut.

Keyakinan tersebut mungkin didasari pada preseden serupa di era periode kepresidenan Jokowi yang pertama.

Saat itu, pada 2018, Letnan Jenderal Doni Monardo, yang sekarang ketua Gugus Tugas Penanggulangan Percepatan COVID-19 merangkap ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), juga masih berstatus perwira militer aktif ketika diumumkan diangkat sebagai ketua BNPB yang baru menggantikan Laksamana Muda (Purn) Willem Rampangilei. Belum pensiun dan juga tidak sedang menjalani cuti kedinasan.

Padahal salah satu syarat berdasarkan undang-undang untuk menjadi pejabat dalam lembaga atau institusi sipil adalah harus dari kalangan sipil atau perwira militer yang sudah pensiun atau mengundurkan diri atau sedang cuti kedinasan.

Namun ada pengecualian, dalam Pasal 47 UU TNI, prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinasi bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Badan Intelijen Negara, Lembaga Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

Karena BNPB tidak termasuk ranah yang dikecualikan tersebut, maka, menurut banyak ahli hukum administrasi negara, Doni Monardo harus cuti, pensiun dini, atau mengundurkan diri dari dinas kemiliteran agar dapat secara sah dilantik sebagai ketua BNPB yang baru.

Saat itu memang sempat terjadi penundaan pelantikan Doni, yang menurut sumber dari BNPB, karena ada masalah administrasi.

Lantas, apa yang dapat dibaca dari semua itu?

Periode jabatan terakhir Jokowi sebagai kepresidenan masih panjang, masih 4 tahun ke depan, hingga 2024. Artinya, masih banyak waktu bagi Jokowi, yang juga mantan wali kota Solo, dan jajarannya untuk menata ulang aspek ketaatan prosedur dan administrasi semacam itu. Dan, yang terutama, perlu ketegasan seorang pemimpin agar tidak selalu difetakompli sedemikian rupa oleh para bawahannya sendiri.

Karena rakyat tidak selalu dapat diharapkan untuk selalu memaklumi dan "berdamai" dengan semua itu.

Jakarta, 9 Mei 2020

Referensi:

Beda dengan Jokowi, Menhub Sebut Pulang Kampung dan Mudik Sama Saja
Mutasi di Tubuh Polri: IPW Sebut Penunjukan Kepala BNPT dengan TR Kapolri Malaadministrasi
Pakar: Kepala BNPB Tak Dilantik sebab Doni Monardo Militer Aktif

Baca Juga: Kriminalisasi Aktivis, Orde Baru Returns?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun