Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Komentar Basa-basi, Salahkah?

7 Mei 2020   00:58 Diperbarui: 7 Mei 2020   01:22 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 1 Mei 2020, Kompasioner Nahariyha Dewiwiddie menulis artikel yang cukup menarik berjudul Ketimbang Basa-basi, Mending Berkomentar yang Berkualitas. Artikel itu pun diganjar dengan penempatannya pada Artikel Utama atau Headline.

Nahariyha mengisahkan cuitan rekan Kompasioner lainnya di Twitter yang menyoal perihal banyaknya Kompasioner yang mengisi kolom komentar di lapak Kompasioner dengan komentar basa-basi, alih-alih komentar berkualitas, misalnya, tentang isi tulisan yang dimaksud atau pendalaman tentang materi artikel yang bersangkutan.

Menurutnya, lebih banyak Kompasioner yang sekadar berkomentar pendek tentang isi artikel yang ditulis, dan bahkan seringkali tidak nyambung dengan isi artikel. Atau justru sekadar titip tautan artikelnya sendiri di kolom komentar, terlebih lagi jika artikel tersebut tergolong Artikel Utama yang potensi keterbacaannya tinggi.

Topik yang menggelitik itu segera diserbu para Kompasioner lainnya yang turut berbagi opini dan pengalaman seputar kebiasaan dan tradisi berkomentar di blog sosial seperti Kompasiana ini.

Beberapa Kompasioner menuturkan bahwa mereka merasa buang-buang waktu jika menyempatkan diri berkomentar panjang di suatu lapak Kompasioner, sementara belum tentu Kompasioner yang bersangkutan menanggapi komentar mereka atau membalas kunjungan mereka sesuai tradisi blogwalking (silaturahmi blog) di kalangan narablog (blogger).

Sebagian lagi menduga bahwa hal itu terjadi karena Kompasioner saat ini lebih terfokus mengejar page views yang berdampak pada perolehan K-Rewards.

Hal itu yang membuat sebagian Kompasioner "kejar target" dengan fokus menulis, dan abai berkomentar. Jika pun berkomentar, itu pun sekadar basa-basi demi menjaga relasi pertemanan atau sekadar menitip tautan artikel sendiri.

Diskusi hangat di kolom komentar artikel karya Kompasioner Nahariyha itu membuat saya mengingat-ingat pengalaman berkompasiana selama sedekade saya bergabung dengan blog keroyokan milik grup Kelompok Kompas Gramedia (KKG) ini.

Saya bergabung dengan Kompasiana sejak 2010, sudah 10 tahun lamanya secara bruto. Kendati mungkin total bersih jam menulis di Kompasiana hanya empat-lima tahun. Selebihnya, cenderung menjadi pembaca senyap alias silent reader, atau bahkan sempat sekian tahun sama sekali tidak membuka Kompasiana.

Dan saya amati tampaknya ada perbedaan antara Kompasiana di era pra-dan pasca-K Rewards.

Dulu di era pra-K Rewards (sekitar 2010-2014), tepatnya sewaktu masih banyak Kompasioner gahar seperti, sebut saja EA dan AS, dinamika diskusinya terasa betul, bahkan cenderung panas. Saat itu memang temanya lebih bebas, di mana artikel keagamaan dan anti-agama bersandingan. Barangkali miriplah suasananya seperti di platform medsos seperti Facebook atau Twitter saat ini.

Cover buku
Cover buku "Kompasiana Etalase Warga Biasa" karya Pepih Nugraha (pendiri Kompasiana)/Sumber: Dokpri - Nursalam AR

Dalam catatan Pepih Nugraha, pendiri Kompasiana, dalam bukunya berjudul Kompasiana Etalase Warga Biasa (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2013), saat Kompasiana berusia dua tahun (tahun 2010, karena Kompasiana lahir pada 2008), banyak para Kompasioner kemudian mendefinisikan ulang Kompasiana, baik dari sisi hakikat makna maupun fungsinya.

"...Seiring dengan itu muncul pula kritik yang khusus ditujukan kepada Admin di Newsroom, kepada konten dan kualitas tulisan, dan kepada para penulisnya itu sendiri. Tidak jarang silang pendapat berkecamuk, meruncing, bahkan sampai pada permusuhan terbuka. Ini saya pandang sebagai dinamisasi orang bermedia sosial. Bagaimana mendudukkan persoalan di antara Kompasioner sendiri yang saling bersilang pendapat hanya karena perbedaan ide, gagasan, opini, pendapat yang semuanya dalam bentuk tulisan?" tulis Kang Pepih dalam sub-bab Mengapa Harus Ada Jurnalisme Hibrida (hal. 154-57).

Saat saya mulai aktif berkompasiana lagi pada pertengahan 2019, rupanya sudah ada moderasi yang lebih ketat dari Tim Admin Kompasiana tentang etiket berkomentar dan penulisan artikel.

Jadi, saya rasa, sedikit banyak ada peran dari Admin Kompasiana yang menjadikan iklim berkomentar di Kompasiana "kondusif" seperti saat ini. Hal ini tentu sah-sah saja, mengingat suasana yang kondusif, kendati dirasa adem ayem, akan lebih menguntungkan secara sosial dan komersial.

Ini tampaknya sesuai dengan pemikiran Kang Pepih sebagai "bapaknya Kompasiana" yang tertuang dalam buku KEWB tersebut.

Menurut Kang Pepih Nugraha, yang juga jurnalis senior Harian Kompas lulusan Fakultas Komunikasi Unpad Bandung, "Kunci pertama yang harus kita ingat dan kita pegang selalu adalah bahwa "kita semua bersaudara", gens una sumus. Kedua, yang dikritik atau ditanggapi adalah tulisannya, hasil karyanya, opininya, bukan orang atau si penulisnya. Ketiga, tetaplah beranggapan bahwa menulis itu ibadah dan pekerjaan yang bermanfaat buat diri sendiri maupun buat orang lain."

Masih menurut Kang Pepih, "Ketika seseorang memegang azas "manfaat" ini, tentulah sebelum menulis sudah dipikirkan apa manfaat menulis buat diri sendiri, manfaat buat orang lain, dan seterusnya. Demikianlah juga dalam hal memberi komentar atau tanggapan terhadap sebuah tulisan, apakah bermanfaat atau asal teriak sekadar meramaikan dialog dan lucu-lucuan. Keempat, bagi penulisnya, mengetahui risiko dari apa yang ditulisnya adalah jauh lebih penting daripada sekadar memposting tulisan setelah itu selesai. Setiap tulisan minimal akan mendapat dua tanggapan: pro atau kontra, mendukung atau menolak, suka atau tidak suka, pujian atau celaan, demikian seterusnya akan datang. Itu biasa."

Sementara itu, terkait perihal keluhan akan sebagian Kompasioner yang enggan membalas komentar atas tulisannya, entah karena terlalu kejar target menulis sehingga alpa membalas komentar atas artikelnya, atau karena komentar tersebut tidak mendukung atau kritis terhadap isi tulisannya, Kang Pepih punya pesan khusus untuk kita, para Kompasioner: "...Ketika Anda menyediakan waktu untuk menulis dan berbagi di Kompasiana, maka Anda menyediakan waktu pula untuk membalas atau menanggapi setiap komentar yang masuk..."

Lantas, salahkah jika komentar yang ada adalah komentar basa-basi?

Tentu tidak, justru setidaknya kita masih harus bersyukur karena masih ada yang mengapresiasi tulisan kita. Sekalipun komentar itu sekadar basa-basi demi menjaga hubungan pertemanan di Kompasiana. 

Lagipula, secara pragmatis, bukankah basa-basi ataupun serius, setiap komentar itu menambah poin Kompasiana kita? Jadi, santuy aja, Bro!

Dalam hal ini, saya banyak menjumpai banyak tulisan bernas dan aktual namun sepi komentar. Sementara ada banyak lagi tulisan yang biasa-biasa saja, namun komentatornya berlimpah. Di sinilah saya memahami makna marketing (pemasaran) tulisan dan membangun networking (jejaring) penulis.

Dan di sinilah letaknya ilmu ikhlas dan ilmu syukur yang harus kita amalkan lebih kuat.

Ikhlas ketika mendapati kualitas tulisan kita belum mencapai taraf Artikel Utama; ikhlas saat tulisan yang kita kerjakan sekuat tenaga namun predikat Pilihan pun tidak nyantol, dan juga ikhlas saat komentar yang masuk sepi atau sekadar basa-basi. Juga bersyukur saat kita masih bisa menulis dan berbagi di Kompasiana.

Guru ngaji saya berpesan bahwa orang yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, maka ia pun akan susah atau bahkan tidak mensyukuri nikmat yang banyak.

Jika komentar basa-basi pun masih tidak disyukuri, hendaklah kita melihat banyak Kompasioner berbakat yang tulisannya terlewat dari komentar atau terlewat untuk dibaca. Jangankan dikomentari, dibaca pun sudah syukur!

Di sisi lain, kita sebagai Kompasioner juga harus introspeksi diri, mengevaluasi diri atau bermuhasabah: Sudahkah kita berkomentar berkualitas untuk tulisan Kompasioner lain?

Jika kita menuntut Kompasioner lain memberikan komentar berkualitas untuk tulisan kita, semestinya, kita sudah terlebih dahulu menunaikan memberikan komentar berkualitas pada lapak Kompasioner lainnya. Karena prinsip resiprokal atau timbal balik itu berjalan sesuai dukungan semesta (mestakung).

Memang idealnya blog sosial seperti Kompasiana itu sarat dengan komentar berkualitas.

Namun, sebagaimana galibnya blog keroyokan yang beranekaragam penulisnya dengan pelbagai karakter dan tingkat pengetahuan yang beragam pula, kita tidak dapat mengendalikan respons orang lain terhadap kita. Justru kitalah yang harus mengendalikan respons kita sendiri. Antara lain, dengan banyak bersabar, bersyukur, dan ikhlas.

Terdengar klise ya?

Memang, namun itulah adanya agar hidup dan pikiran kita tidak terbebani dengan hal receh atau trivial perihal penantian kita akan komentar berkualitas, yang bukan basa-basi.

Come on, guys, we are living in the real world, instead in the phantasy world! 

Inilah realitas kehidupan di dunia nyata, bukan di negeri dongeng yang serba ideal.

Akhir kata, sekadar pesan saya pribadi, lain lubuk lain ikannya. Jangan paksakan suatu lubuk punya varietas ikan yang sama dengan lubuk lainnya. Jika tidak suka, toh, kita bisa berpindah cari ikan di lubuk lain.

Namun, bagaimana pun, seruan idealis Kompasioner Nahariyha itu tetap berguna untuk kebaikan dan perkembangan Kompasiana dan kalangan Kompasioner yang lebih baik ke depannya.

Jakarta, 7 Mei 2020

Referensi: https://www.kompasiana.com/dewiwiddie/5eab587e097f365ebf3826b2/ketimbang-basa-basi-mending-berkomentar-yang-berkualitas

Baca Juga: "Ambyar", Warisan Didi Kempot untuk Bahasa Indonesia dan Saat Denny Siregar Merisak Cucu SBY

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun