Dulu di era pra-K Rewards (sekitar 2010-2014), tepatnya sewaktu masih banyak Kompasioner gahar seperti, sebut saja EA dan AS, dinamika diskusinya terasa betul, bahkan cenderung panas. Saat itu memang temanya lebih bebas, di mana artikel keagamaan dan anti-agama bersandingan. Barangkali miriplah suasananya seperti di platform medsos seperti Facebook atau Twitter saat ini.
Dalam catatan Pepih Nugraha, pendiri Kompasiana, dalam bukunya berjudul Kompasiana Etalase Warga Biasa (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2013), saat Kompasiana berusia dua tahun (tahun 2010, karena Kompasiana lahir pada 2008), banyak para Kompasioner kemudian mendefinisikan ulang Kompasiana, baik dari sisi hakikat makna maupun fungsinya.
"...Seiring dengan itu muncul pula kritik yang khusus ditujukan kepada Admin di Newsroom, kepada konten dan kualitas tulisan, dan kepada para penulisnya itu sendiri. Tidak jarang silang pendapat berkecamuk, meruncing, bahkan sampai pada permusuhan terbuka. Ini saya pandang sebagai dinamisasi orang bermedia sosial. Bagaimana mendudukkan persoalan di antara Kompasioner sendiri yang saling bersilang pendapat hanya karena perbedaan ide, gagasan, opini, pendapat yang semuanya dalam bentuk tulisan?" tulis Kang Pepih dalam sub-bab Mengapa Harus Ada Jurnalisme Hibrida (hal. 154-57).
Saat saya mulai aktif berkompasiana lagi pada pertengahan 2019, rupanya sudah ada moderasi yang lebih ketat dari Tim Admin Kompasiana tentang etiket berkomentar dan penulisan artikel.
Jadi, saya rasa, sedikit banyak ada peran dari Admin Kompasiana yang menjadikan iklim berkomentar di Kompasiana "kondusif" seperti saat ini. Hal ini tentu sah-sah saja, mengingat suasana yang kondusif, kendati dirasa adem ayem, akan lebih menguntungkan secara sosial dan komersial.
Ini tampaknya sesuai dengan pemikiran Kang Pepih sebagai "bapaknya Kompasiana" yang tertuang dalam buku KEWB tersebut.
Menurut Kang Pepih Nugraha, yang juga jurnalis senior Harian Kompas lulusan Fakultas Komunikasi Unpad Bandung, "Kunci pertama yang harus kita ingat dan kita pegang selalu adalah bahwa "kita semua bersaudara", gens una sumus. Kedua, yang dikritik atau ditanggapi adalah tulisannya, hasil karyanya, opininya, bukan orang atau si penulisnya. Ketiga, tetaplah beranggapan bahwa menulis itu ibadah dan pekerjaan yang bermanfaat buat diri sendiri maupun buat orang lain."
Masih menurut Kang Pepih, "Ketika seseorang memegang azas "manfaat" ini, tentulah sebelum menulis sudah dipikirkan apa manfaat menulis buat diri sendiri, manfaat buat orang lain, dan seterusnya. Demikianlah juga dalam hal memberi komentar atau tanggapan terhadap sebuah tulisan, apakah bermanfaat atau asal teriak sekadar meramaikan dialog dan lucu-lucuan. Keempat, bagi penulisnya, mengetahui risiko dari apa yang ditulisnya adalah jauh lebih penting daripada sekadar memposting tulisan setelah itu selesai. Setiap tulisan minimal akan mendapat dua tanggapan: pro atau kontra, mendukung atau menolak, suka atau tidak suka, pujian atau celaan, demikian seterusnya akan datang. Itu biasa."
Sementara itu, terkait perihal keluhan akan sebagian Kompasioner yang enggan membalas komentar atas tulisannya, entah karena terlalu kejar target menulis sehingga alpa membalas komentar atas artikelnya, atau karena komentar tersebut tidak mendukung atau kritis terhadap isi tulisannya, Kang Pepih punya pesan khusus untuk kita, para Kompasioner: "...Ketika Anda menyediakan waktu untuk menulis dan berbagi di Kompasiana, maka Anda menyediakan waktu pula untuk membalas atau menanggapi setiap komentar yang masuk..."
Lantas, salahkah jika komentar yang ada adalah komentar basa-basi?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!