Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

"Nasi Anjing" dan Khazanah Ungkapan Diskriminatif dalam Bahasa Indonesia

27 April 2020   20:01 Diperbarui: 27 April 2020   20:00 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover buku "9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing" karya Alif Danya Munsyi alias Remy Sylado/Sumber: Dokpri - Nursalam AR

Khazanah ungkapan diskriminatif dalam bahasa Indonesia

Dalam catatan Alif Danya Munsyi atau Remy Sylado, salah seorang budayawan multi-talenta Indonesia, dalam bukunya yang berjudul 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2003), dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, sang pekamus W.J.S. Poerwadarminta memasukkan banyak istilah, yang untuk alasan tertentu dapat dikatakan mengandung ejek atau nista, tetapi juga ternyata pernah hidup dalam khazanah bahasa Melayu (yang merupakan sumber bahasa Indonesia).

Misalnya, pada entri "Keling", ada ungkapan "akal keling" yang maksudnya "perangai licik, curang, dan pandai menipu"; "lidah keling" yang berarti "tidak boleh dipercaya, manis perkataannya, tetapi hatinya jahat", dan "pusing keling" yang bermakna "berputar balik perkataannya".

Masih menurut Remy Sylado yang bernama asli Jappy Tambayong, masyarakat Tamil (merujuk pada warga keturunan India bagian selatan yang umumnya berkulit gelap) di Medan, Sumatera Utara, pada dasawarsa 1960-an pernah mendatangi kantor-kantor redaksi koran di kota itu untuk mengimbau agar pers melazimkan penggunaan sebutan "Tamil" alih-alih "Keling", sebab dalam kata "Keling" ada unsur menghina.

Ini sejatinya sama dengan tidak nyamannya etnis Tionghoa disebut "Cina", sekadar contoh.

Remy Sylado juga mencontohkan beberapa peribahasa Melayu lama seperti "bagai cina karam" untuk mengiaskan keadaan gaduh yang tidak terkendali, atau "bagai cina beranak dua lusin" untuk mengiaskan tubuh seorang perempuan yang kurus kerempeng.

Dalam catatan pribadi saya, dalam khazanah bahasa Betawi (yang diistilahkan oleh pekamus Abdul Chaer sebagai "bahasa Melayu dialek Jakarta"), juga terdapat beberapa ungkapan serupa, antara lain "ujan cina makan sambel".

Ini biasanya sebutan untuk hujan gerimis atau lebat yang turun dalam kondisi hari yang cerah dan terang benderang, tidak mendung sebagaimana biasanya. Mungkin ini merujuk pada kondisi fisik kalangan Tionghoa yang umumnya berkulit putih cerah.

Ada juga ungkapan "kawin cina buta" atau "kawin muhallil".

Ini merujuk pada suatu perkawinan pura-pura, di mana seorang suami yang terlanjur mentalak tiga istrinya namun berniat rujuk, akan menyewa seorang laki-laki untuk menikahi mantan istrinya tersebut dalam jangka waktu tertentu. Kemudian si "laki-laki bayaran" itu diharuskan menceraikan wanita tersebut untuk kemudian dinikahi oleh mantan suami pertamanya.

Dalam sistem pernikahan Islam, seorang suami yang telah mentalak (cerai) tiga istrinya dan berniat rujuk kembali diwajibkan menunggu sampai sang mantan istrinya itu menikah lagi dengan laki-laki lain. Jika laki-laki lain tersebut sudah menceraikan sang wanita, barulah sang mantan suami pertama bisa kembali menikahi mantan istrinya tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun