Jadi, jika pun kalangan eksekutif mencoba memaksakan keluarnya fatwa haram mudik dari MUI, selain melanggar prinsip independensi MUI sebagai mitra pemerintah, hal itu jelas menyalahi aturan perundang-undangan.
Di samping itu, akan kentara betul unsur "pemanfaatan" agama untuk mencapai tujuan dunawi, jika hal tersebut tetap dipaksakan.
Lagipula, jikalau fatwa MUI diperlukan untuk menggedor sisi spiritualitas (baca: keimanan) para pemudik yang nekat mudik, seandainya dirasa larangan mudik dari pemerintah belum efektif, belum tentu juga akan efektif.
Di saat perut lapar dan kebutuhan jasmani terhambat karena kehilangan pekerjaan atau kerugian usaha sebagai dampak pandemi COVID-19, tekad mereka untuk pulang ke kampung halaman tentu jauh lebih besar daripada ketakutan mereka akan sanksi moral karena tidak mematuhi fatwa MUI yang tidak mengikat.
Tepatlah sebagaimana ditegaskan Kyai Hasanuddin AF bahwa persoalan mudik adalah ranah kebijakan publik yang merupakan otoritas presiden atau eksekutif.
Alhasil, alih-alih berharap fatwa haram mudik yang belum tentu efektif, seyogyanya pemerintah lebih efektif dan lebih tegas lagi melakukan penyekatan wilayah dan mengimplementasikan sanksi dalam pemberlakuan larangan mudik tersebut.
Seandainya pemerintahan Jokowi tidak bisa meniru prinsip kebijakan "Go Hard, Go Early" yang diadopsi Perdana Menteri Jacinta Ardern yang sukses menekan angka penderita positif dan tingkat kematian akibat COVID-19 di Selandia Baru dengan alasan pertimbangan perbedaan budaya masyarakat dan juga telah ketinggalan momentum, setidaknya Jokowi bisa memberlakukan prinsip "Go Firm", berlaku lebih tegas.
Jika tidak, dan terlihat masih setengah hati hingga keadaan terus memburuk dan kian parah, bisa-bisa rakyat yang telah banyak menderita karena pandemi COVID-19 ini yang justru akan berseru kepada pemerintahan saat ini, "Go away!"
Jakarta, 27 April 2020
Baca Juga:Â Fatwa Kremasi Jenazah Muslim Korban COVID-19, Mungkinkah?