Menurut petinggi MUI tersebut, persoalan mudik adalah ranah kebijakan publik, bukan ranah MUI yang bergerak dalam bidang keagamaan.Baca Juga:Â Saat Politisi Membunuh Kamus Besar Bahasa Indonesia
"Jadi kalau pemerintah mau memberlakukan PSBB ya jamin dong. Kalau tidak mau mudik, masyarakat yang dari daerah itu, kehidupannya gimana? Orang enggak bisa makan, enggak bisa kerja. Itu masalah negara itu. Bukan masalah fatwa itu," ujarnya.
Dalam hal ini MUI telah memperlihatkan sikap independensinya terhadap pemerintah sekaligus memahami betul perannya yang bukan lembaga negara dan bukan bawahan presiden namun sebagai "mitra pemerintah dalam penyelenggaraan program pembangunan pengembangan kehidupan yang islami" sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 151 Tahun 2014 tentang Bantuan Pendanaan Kegiatan Majelis Ulama Indonesia.
Hal ini mengingatkan publik dan umat Islam pada ketegasan Buya Hamka (Kyai Haji Abdul Malik Karim Amrullah) yang menjabat ketua umum MUI pada 1970-an di era Orde Baru.
Di saat Orba sedang kuat-kuatnya berkuasa, Buya Hamka tegas menolak MUI hanya sebagai stempel pemerintah atas segala kebijakannya. Karena benturannya dengan Presiden Soeharto saat itu, alih-alih membebek rezim penguasa, Buya Hamka memilih mundur sebagai ketua umum MUI.
Alhasil, jika ada sebagian pihak yang mengharapkan kebijakan pelarangan mudik yang diberlakukan Jokowi disertai dengan fatwa MUI agar lebih efektif, tentu mereka patut kecewa, karena sejatinya itu bukan ranah MUI.
Di samping itu, dalam konteks sistem kenegaraan Republik Indonesia, yang bukan negara berdasarkan asas Islam, tidak dikenal posisi mufti atau otoritas pemberi fatwa sebagai sumber hukum mengikat.Â
Berbeda dengan keputusan presiden, keputusan Mahkamah Konstitusi, keputusan gubernur, atau bahkan keputusan bupati sekalipun, yang memiliki legalitas berdasarkan hukum positif dan berwenang memaksakan pemberlakuan suatu peraturan termasuk menerapkan sanksinya.
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tepatnya pada Pasal 1 angka 2, disebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Dan dalam deretan jenis peraturan yang didetailkan dalam pasal tersebut, fatwa MUI tidak termasuk sebagai suatu bentuk peraturan perundang-undangan.